SEMARAPURA | patrolipost.com – Setiap desa adat di Bali memiliki tradisi dan dresta masing-masing dalam menjalankan ritual atau upacara keagamaan, misalnya terkait upacara ngaben massal yang digelar oleh Banjar Tojan Kaler dan Kelod, Desa Tojan, Desa Adat Gelgel, Klungkung.
Ngaben massal yang digelar Banjar Tojan Kaler dan Kelod bertepatan dengan Selasa 26 Juli 2022 ini diikuti oleh sekitar 26 pemilik sawe. Menurut Klian Dusun Tojan Kaler Komang Jayantika menyatakan bagi setiap pemilik sawe berkenaan dengan pengabenan massal yang digelar ini dikenai biaya urrunan sebesar Rp 10 juta .
“Biaya sebesar itu sudah tuntas sampai upacara neglinggihan Hyang Dewa,” ujar Komang Jayantika. Lebih lanjut disebutkan dari pihak Desa Dinas Tojan ikut memberikan bantuan tunia sebesar Rp15 juta itu diberikan berupa 2 ekor babi dan beras serta aqua.
Pelaksanaan Ngaben Massal lainnya di Klungkung ada yang unik seperti di Desa Adat Nyanglan, Kecamatan Banjarangkan, Klungkung dan Desa Nyanglan Kaja, Kecamatan Tembuku, Bangli. Selain berada dalam dua wilayah pemerintahan yang berbeda, karena berada di perbatasan, Desa Adat Nyanglan rupanya memiliki ritual yang unik dan menarik saat prosesi ngaben massal Sawa Prenawa dan Atma Wedana yang digelar setiap empat – lima tahun sekali tersebut. Berupa ritual ngangkid/ngebet tulang (menggali kuburan) beberapa hari sebelum proses ngaben/pembakaran dilakukan, seperti yang dilakukan pada Anggara Pon Merakih, Selasa (26/7). Untuk kali ini jumlah sawa prenawa sebanyak 57 sedangkan total atma wedana 88 pitara.
Dikatakan menarik serta sarat mistis, lantaran dalam ritual tersebut krama yang memiliki sawa (mayat) yang masih dikubur, akan digali sebelum ditempatkan di bade atau tempat pembakaran. Jika di desa lain, proses ngangkid ini hanya diambil sejumput tanahnya saja di kuburan, namun di Desa Adat Nyanglan, kuburan dibongkar langsung dan tulang atau semua bagian tubuh sawa yang dikubur diambil dan dikumpulkan. Bahkan, jika ada sawa yang belum lama dikubur maka kondisinya masih utuh secara raga. “Bau sudah pasti, tapi itu sudah menjadi tugas keharusan dari pihak keluarga yang punya untuk mengurusnya,” sebut Bendesa Gede Desa Adat Nyanglan, Jero Mangku Nengah Suanda didampingi Bendesa Nyanglan Kaja, IB Nyoman Suta, Selasa (26/7).
Dahulu, lanjut Jero Bendesa, jika ditemukan kondisi seperti itu maka pihak keluarga akan memotong-motong raga sawa tersebut seperti tukang jagal. Kemudian kulit dan dagingnya dikuliti untuk didapatkan hanya tulang-tulangnya saja. Namun seiring perkembangan zaman dan juga terkait unsur kesehatan, metode tersebut sudah tak dipergunakan lagi. Jika masih raganya masih utuh, saat itu juga langsung dibakar. Diambil tulang-tulang yang sudah menjadi serpihan-serpihan kemudian dikumpulkan, dan nanti akan dibakar kembali bersama tulang yang lain saat proses ngaben berlangsung. Meski demikian, hal itu sudah menjadi biasa di Nyanglan. Selain sudah tradisi juga mewajiban dari pihak keluarga yang memiliki sawa dalam kondisi demikian. Terlebih hal itu merupakan bagian dari membayar hutang atau bentuk bhakti kepada leluhur.
“Kalau dulu metodenya masih manual. Mayatnya mulai membusuk, dikerubungi ulat belatung dan bau sudah pasti. Meski demikian, pihak keluarga sudah siap resiko dan tetap menguliti untuk diambil tulangnya saja. Kalau dari segi kesehatan itu saja pasti tidak sehat karena memegang mayat yang sudah lama tanpa streil. Sekarang sudah tidak lagi demikian,” bebernya.
Seperti yang nampak pada proses ngebet kemarin. Dimana beberapa sawa masih ditemukan dalam kondisi utuh atu separuh utuh. Terutama mereka yang meninggalnya baru hitungan di bawah satu tahun dan diformaline. Ada pula mayat yang terkubur masih dalam peti terutama mereka yang sebelumnya meninggal karena terpapar virus covid-19. Selain dalam peti, mayatnya sebelumnya juga dimasukan dalam kantong jenazah yang berbahan plastik tebal oleh petugas BPBD terdahulu. Akibatnya kondisi mayatnya masih utuh dan membusuk. Karenanya masing-masing pihak keluarga yang sudah memperkirakan kondisi itu, sudah bersiap menyediakan set kompor untuk pembakaran. “Begitu peti dibuka, mayatnya diangkat dan diletakan di tanah. Langsung dibakar, tanpa membuka kantong plastiknya,”jelas mantan Perbekel Desa Adat Nyanglan dua periode ini.
Untuk kali ini jumlah sawa yang diangkid atau digali sebanyak 30 untuk krama yang masuk wilayah Banjar Tengah dan Kelod (masuk wilayah Klungkung) dan 18 untuk krama dari Banjar Kaja (Nyanglan Kaja, Bangli). Kali ini pelaksanaan ngaben massal dari tiga banjar ini bersamaan.
Tulang-tulang yang sudah digali, semuanya diletakan di tempat khusus yang sudah dibuatkan sebelumnya di setra. Sementara puncak acara yakni ngabennya dilaksanakan pada Sukra Umanis Merakih, Jumat (29/7). Tiga bade besar dipersiapkan untuk mengusung seluruh alang-alang yang disimbolkan sebagai tulang. Sampai di setra digantikan dengan tulang yang asli kemudian dipindahkan ke kotak tempat pembakaran.
Setelahnya juga akan dilangsungkan prosesi memukur. “Jumlah tulang yang digali lebih sedikit dari jumlah sawa yang diaben. Sebab yang meninggal baru-baru (kurang dari 6 bulan, langsung dibakar namun jenis bantennya seperti banten untuk penguburan. Begitu pula yang ikut memukur lebih banyak, karena ada beberapa krama sebelumnya telah melaksanakan ngaben secara pribadi,” ujarnya.
Memukur ini nantinya juga diikuti dengan proses metatah massal serta ritual manusia yadnya lainnya seperti tiga oton, tiga bulan anak dan lainnya. Biasanya dilakukan bagi krama yang sudah dewasa yang saat usia anak dulu belum pernah mengikuti ritual tersebut akibat keterbatasan biaya.
“Ngaben massal maupun upacara manusia yadnya massal lainnya sangat membantu para krama, karena biaya yang dihabiskan masing-masing jauh lebih sedikit jika dilaksanakan secara pribadi. Malahan ritual manusia yadnya yang dilakukan secara massal ini jauh lebih utama dibandingkan yang pribadi, karena banten upakara paling lengkap, dan dipuput sulinggih secara lengkap dan tentu lebih dari satu sulinggih, biasanya tiga sampai empat sulinggih,” pungkasnya. (855)