DENPASAR | patrolipost.com – Universitas Warmadewa melahirkan Doktornya yang ke 20. Adalah Dr Ni Luh Gede Purnamawati setelah ujian sidang terbuka disertasinya dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan pada Jumat, 1 Agustus 2025.
Dalam disertasinyanya, sang Notaris ini memilih judul “Penyelesaian Sengketa Tanah Adat yang Dimanfaatkan untuk Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan di Provinsi Bali”.
Purnamawati yang ditemui mengatakan, pemanfaatan tanah di Bali sebagai investasi dan penunjang pariwisata berpotensi memunculkan benturan nilai – nilai dan kepentingan. Pelaksanaan penyelesaian sengketa terhadap tanah – tanah adat sebagaimana hasil penelitian yang digunakan sebagai sampel di empat Kabupaten, yaitu Karangasem, Gianyar, Badung dan Buleleng, menunjukan tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui wicara, non – litigasi. Dalam hal ini mediasi sebagaimana di dalamnya ada semangat musyawarah, dan menjadi bagian dari Undang Undang Pokok Agraria (UUPA). Melalui jalur hukum atau litigasi cenderung diminati oleh investor karena dianggap lebih memberikan kepastian hukum dan Restorative Justice (RJ).
“Efektifitas penyelesaian sengketa tanah adat yang dimanfaatkan untuk pembangunan pariwisata berkelanjutan di Provinsi Bali belum efektif. Hal ini karena para investor terdapat kecenderungan memilih penyelesaiannya melalui jalur hukum di Pengadilan guna mendapatkan kepastian hukum, bilamana diputuskan oleh lembaga pengadilan formal.
“Untuk itu, kami minta supaya tanah adat agar disertifikatkan supaya tidak ada permasalahan di kemudian hari. Sekarang sudah ada undang – undang, apabila orang tempati tanah tersebut lebih dari dua puluh lima tahun bisa ajukan sertifikat jadi hak milik pribadi. Sementara hasil penelitian kami, banyak tanah adat yang belum disertifikatkan dan ditempat oleh warga,” ungkapnya.
Dikatakannya, menurut para Bendesa Adat upaya dalam mediasi sengketa tanah adat, antara lain fasilitasi mediasi mengadakan pertemuan dengan pihak – pihak yang terlibat dalam hal ini investor dan masyarakat adat untuk memahami pandangan dan kepentingan masing – masing. Selain itu, berdasarkan hukum adat (awig – awig) yang digunakan sebagai landasan hukum dalam menentukan kebijakan desa adat. Dan penyusunan kesepakatan bersama MoU untuk mendorong kesepakatan kedua belah pihak seperti hak dan kewajibannya.
“Ada beberapa hal yang membuat orang tidak mensertifikatkan tanah adat. Pertama, karena malas. Orang malas karena beranggapan bahwa tanah tersebut adalah tanah adat sehingga tidak mungkin ada pihak yang mau mengganggu dan sebagainya. Dan kedua, karena masih banyak yang belum paham. Meski tanah adat tapi harus disertifikatkan karena ini asetnya Desa Adat,” terangnya.
Purnamawati pun menyarankan kepada pemerintah untuk melakukan harmonisasi terhadap produk hukum yang telah ditertibkan, terutama pengaturan mengenai penyelesaian sengketa pertanahan secara non litigasi. Sementara kepada para investor, agar lebih cermat dan berhati – hati dalam melakukan kegiatan usahanya. Sedangkan masyarakat, dalam hal ini masyarakat adat untuk berperan aktif terhadap upaya pencegahan dalam pengelolaan tanah adat yang dipergunakan sebagai instrumen investasi dalam bidang kepariwisataan, terutama yang berkaitan dengan hak ulayat masyarakat.
“Mengingat terhadap keberadaan tanah – tanah adat di Bali yang dimensinya tidak hanya menyangkut aspek perdata semata, tetapi juga ada aspek religius,” pungkasnya. (007)