BANGLI | patrolipost.com – Berbagai unggahan ramai di media sosial berisi penolakan sejumlah oknum warga terkait pembangunan taman wisata oleh PT Tanaya Pesona Batur (TPB), di kawasan konservasi Taman Wisata Alam Gunung Batur Bukit Payang (TWA GBBP) Kintamani. Salah satu unggahan yang dipublikasikan Oktober 2023 hingga Maret 2024 terkesan telah dan/atau sedang terjadi perampasan hak-hak masyarakat.
Menanggapi hal ini Penyarikan Desa Adat Batur, Guru Wayan Asta meyakinkan bahwa tidaklah benar telah terjadi perampasan hak hidup dan hak-hak lain seperti yang disampaikan di media sosial. Pihaknya dari Desa Adat menilai hal tersebut agak berlebihan.
Seperti diketahui, lahan yang ditempati oknum masyarakat, berdasarkan peraturan yang berlaku adalah kawasan hutan konservasi yang pengelolaanya diberikan kepada PT TPB dan bukan merupakan lahan pribadi.
“Kawasan atau tempat izin konsesi milik PT TPB yang dipersoalkan pada saat ini, memang benar kawasan tersebut adalah kawasan hutan konservasi. Yang mana sebelum dilakukan penetapan oleh pemerintah terkait, merupakan wewidangan Desa Adat Batur,” ungkapnya, Minggu (26/5/2024).
Kata Guru Asta, lahan tersebut bukan merupakan hak milik pribadi/ perseorangan/oknum masyarakat. Sehingga jelas sekali bahwa masyarakat tidak memiliki hak secara keperdataan bahwa itu adalah tanah milik.
Dijelaskannya, Desa Adat Batur yang asli dulunya berlokasi di kawasan Lembah, tepatnya di Barat Daya Gunung Batur dan tepi Danau Batur. Namun akibat meletusnya Gunung Batur pada 3 Agustus 1926, lokasi Desa Batur dan beberapa pura habis tertimbun lahar panas, sehingga Desa Adat Batur rata dengan tanah. Oleh sebab itu Desa Batur beserta beberapa puranya dipindahkan ke tempat yang baru (lokasi Desa & Pura saat ini) yang disebut Kalanganyar.
Hal ini dipertegas oleh Raja Purana Pura Ulun Danu Batur 49a.1 disebutkan: ‘Nghing wusampun Ginanti Parhyangan Ida Bhatara ring Tampurhyang nguni mangke hana mungguing Kalangayar apan nguni purwa telas dening karuganing parangan agni wetu saking madianing giri’ yang artinya: Sesudah diganti Parhyangan Tampurhyang maka pura tersebut sekarang berada di Batur Kalangayar.
“Oleh karena pura yang dulu telah hancur semuanya karena lintasan lahar panas dari gunung Batur,” jelas Guru Asta.
Setelah masyarakat Batur pindah ke lokasi yang baru, berdasarkan keputusan Dewan Raja Nomor 28 sub B.c.3 dan 4 pada tanggal 29 Mei 1927, Kawasan Hutan di GBBP diusulkan Dewan Raja-raja kepada pemerintah Hindia Belanda sebagai Kawasan Hutan.
Kemudian pada tanggal 9 Agustus 1933 dilakukan pemancangan (pematokan) batas. Kemudian pada tanggal 15 Desember 1933 dilakukan pengukuhan batas, kemudian disahkan oleh inspektur kehutanan pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 19 Maret 1934 berkedudukan di Bogor.
“Dari desa adat tidak mengetahui secara pasti siapa saja yang tinggal di lokasi tersebut. Walaupun lokasinya ada di wewidangan Desa Adat Batur, namun secara adat maupun secara administrasi, warga yang tinggal di sana tidak pernah tercatatkan,” tegasnya.
Pihaknya mengaku tidak mengetahui siapa yang tinggal di sana berapa lama, dan dari mana asalnya. Sebab kewenangan ada di BKSDA.
Pihak desa adat baru buka suara, karena berita di media sosial tersebut hingga kini terus disebarkan. Dikatakan sebelumnya pihak desa adat sudah sempat turun memberikan pemahaman kepada warga sekitar.
“Terlepas dari mereka masyarakat mana, yang jelas mereka juga Krama Bali. Kami pun sudah jelaskan mereka tidak akan diusir. Justru kehadiran PT ini memberi legalitas bagi mereka untuk tinggal, sesuai dengan masa kontrak yang diberikan pada PT TPB,” sebutnya.
Tidak hanya itu, lahan garapan sepenuhnya diganti atau direlokasi ke tempat yang telah disepakati dan dibuat sedemikian bagus. Mulai dari pemerataan tanah, setelah diratakan di atasnya diisi tanah subur, irigasi, pipanisasi serta akses yang sangat bagus untuk menunjang kinerja petani dalam beraktifitas. Gubuk-gubuk warga yang terlanjur terbangun, juga akan direlokasi yang kemudian akan dibentuk sedemikian rupa berupa tempat UMKM.
Ditambahkan pula, terkait keberadaan PT TPB, pihaknya dari Desa Adat Batur menekankan bahwa desa secara tertulis telah membuat surat rekomendasi dan pernyataan dukungan. Meski PT ini ada izinnya, tapi tidak bisa sewenang-wenang membangun seluas yang dikuasai. Mereka hanya bisa membangun 10 persen dari yang dikuasai. Sehingga selain kepentingan untuk Krama, keberadaan PT TPB juga melindungi keberadaan situs-situs Desa Adat Batur yang masuk dalam izin pengelolaan kawasan. Seperti Pura Rejeng Anyar, Pura Jati, dan sebagainya.
“Keberadaan PT ini, kami harapkan ada kesinambungan pembangunan, yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pariwisata serta menyerap tenaga kerja Kintamani, khususnya Batur sesuai dengan keahlian. Sehingga secara tidak langsung akan membuat rantai kesejahtraan untuk masyarakat sekitar,” imbuhnya. (750)