LABUAN BAJO | patrolipost.com – Pelaku pariwisata di Labuan Bajo yang berasal dari berbagai asosiasi seperti Asosiasi Kapal Wisata (Askawi) Manggarai Barat dan Perhimpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Cabang Manggarai Barat melakukan kegiatan monitoring terhadap aktivitas sejumlah kapal wisata dan tour guide di Pelabuhan Labuan Bajo, Jumat (18/12/2020). Monitoring dilakukan sebagai upaya melakukan pengawasan terhadap sejumlah kapal wisata dan tour guide yang belum terdaftar kedalam dua asosiasi resmi tersebut.
“Monitoring terhadap kapal wisata dan juga jasa pramuwisata. Monitoring untuk mengetahui apakah kapal, agen dan guide itu sudah terdaftar atau belum,” jelas Ahyar Abadi, Ketua Askawi Manggarai Barat saat ditemui di sela – sela melakukan kegiatan pengawasan.
Menurut Ahyar, kegiatan monitoring ini juga merupakan salah satu cara Askawi dan HPI dalam mendukung upaya Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat dalam meminimalisir kerugian yang dialami oleh Pemkab Mabar dengan banyaknya kapal – kapal wisata liar yang beroperasi di wilayah Perairan Labuan Bajo dan Taman Nasional Komodo (TNK) yang tidak memberikan sumbangsih dalam bentuk pajak.
Hingga saat ini, hanya terdapat 180 Kapal Wisata yang telah terdaftar di Askawi sebagai Operator Penyedia Kapal Wisata resmi. Angka ini menurutnya masih sangat rendah bila dibandingkan dengan jumlah kapal wisata yang beroperasi di perairan Labuan Bajo dan TNK mencapai kurang 480 Kapal Wisata. Hal ini tentunya menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi Pemkab Mabar serta memberi dampak yang buruk juga bagi pengusaha kapal wisata lokal.
“Itu sangat merugikan kita karena mereka tidak menyetorkan pajak ke pemerintah daerah. Di sisi lain pemerintah juga harus tegas, kita akan melaporkan hasil ini dan pemerintah kita harapkan tegas memberikan sanksi bila perlu langsung disetopkan dulu sampai mengurus semua izin biar mereka bisa menikmati sambil membayar pajak ke pemerintah daerah,” jelas Ahyar.
Hal senada disampaikan oleh Sebastian Pandang, Ketua HPI Mabar. Menurutnya, monitoring terhadap kapal wisata dan tour guide tak memiliki izin telah dilakukan sejak tahun 2018 yang lalu. Hal ini jelasnya beralaskan banyaknya ketimpangan yang terjadi. Selain banyaknya kapal wisata yang tak memiliki izin beroperasi di Labuan Bajo dan TNK, ditemukan juga banyaknya tour operator dan tour agent yang selain tidak memiliki kantor di Manggarai Barat, hampir semua tour agent dan tour operator ini tidak menggunakan jasa pramuwisata yang telah memiliki lisensi yang berada dibawah naungan HPI Manggarai Barat.
“Melihat kejanggalan yang sampai saat ini masih terjadi banyak tour travel/agent dari luar NTT yang datang ke sini tidak menggunakan pramusaji HPI yang ada di Labuan Bajo. Monitoring kami di tahun 2018 sudah kami laporan ke Dinas Pariwista untuk mengakomodir ketimpangan itu dan lahirlah sebuah produk regulasi dalam bentuk Perbub No 46 terkait pramuwisata Mabar sehingga dalam aksi kami ini, kami punya legitimasi sesuai aturan itu,” jelas Sebastian.
Menurut Sebastian, demi menjaga kenyamanan dan kepastian informasi bagi wisatawan, seorang pramuwisata diwajibkan bersertifikasi dan memiliki lisensi pramuwista. Hal ini tentunya juga akan memberikan kemudahan saat berkoordinasi dengan instansi terkait jika di kemudian hari terdapat sebuah permasalahan yang melibatkan wisatawan dan pramuwisata saat berwisata.
“Karena ketika kita memakai guide yang resmi yang punya lisensi otomatis informasinya itu akan akurat. Tidak akan terjadi miskomunikasi, misinformasi kepada wisatawan. Selain itu juga akan mempermudah koordinasi dengan instansi terkait jika di kemudian hari ada masalah yang melibatkan wisatawan. Kita harus antisipasi hal-hal itu,” jelasnya.
Hingga Desember 2020, telah terdaftar 266 tour guide yang berlisensi yang berada dibawah naungan HPI Mabar, namun tingkah laku sejumlah tour agent/travel yang tidak berdomisili di Manggarai Barat dalam mengirimkan para wisatawan langsung disertai dengan tour guide dan your leadernya tentu memberikan dampak buruk bagi pendapatan para pramuwisata yang ada di Manggarai Barat yang semuanya merupakan orang orang lokal.
Dampak buruknya yang pertama secara umum sekarang itu tour guide hampir tidak ada pekerjaan. Itu mulai dari awal Maret sampai awal Agustus, dan Agustus – September sedikit sudah mulai ada kerjaan semenjak banyak wisatawan lokal ke Labuan Bajo.
“Tapi yang lain juga bawa sendiri dari Lombok, Bali dan Jawa dengan agen yang mereka pakai dan dampak negatifnya itu di sisi ekonomi. Pemberdayaan terhadap asosiasi lokal itu tidak memberikan dampak positif,” ujarnya.
“Selain itu coba dikali saja, misalnya jasa memandu 1-5 orang itu 350.000/hari, kali saja kalau misalnya paket tour ke Komodo itu minimal dua hari atau tiga hari dua malam. Dikali saja totalnya berapa perhari dan perbulan, banyak sekali kerugiannya,” sambungnya.
Saat melakukan pengawasan, Askawi dan HPI menemukan dari total 16 kapal yang melakukan pelayaran, terdapat dua Kapal Wisata yang belum terdaftar, baik terdaftar di Askawi maupun Gahawisri. Untuk pramuwisata, hasil pengawasan menemukan dari total 16 pramuwisata, terdapat 10 pramuwisata/tour guide ilegal.
“Ini tentu merugikan kita orang lokal yang bekerja sebagai pramuwisata. Di sisi lain kita masih kehilangan banyak pekerjaan, tapi di sisi lain justru diisi oleh orang – orang yang tidak berkompeten atau orang yang tidak punya lisensi di wilayah kerja Kabupaten Manggarai Barat,” jelas Ahyar. (334)
Benar banyak kapal dengan harga tidak sesuka mereka dan banyak tour gaet ilegal dengar harga di up sesuka mereka.harus pihak pemerintah yg urus dan harus dari pusat karena banyak tindak korupsi dipariwisata