DENPASAR | patrolipost.com – Sidang kasus sengketa tanah Serangan Kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Senin (1/7/2024). Pihak penggugat menghadirkan tiga orang saksi, yaitu mantan Bendesa Adat Serangan, I Wayan Leder, I Ketut Subandi, saksi dari UPT Tahura Ngurah Rai yang menjabat selaku Kepala UPT Tahura Ngurah Rai dan David Debert Biver. Saksi dari Tahura menyebut, bahwa objek sengketa bukan tanah kehutanan dan jauh dari kawasan PT BTID.
Kuasa hukum penggugat Siti Sapurah alias Ipung didampingi Horasman Diando Suradi menjelaskan, tiga saksi yang dihadirkan itu, satu dari Tahura yang dengan jelas mengatakan bahwa objek sengketa itu bukan bagian dari tanah kehutan. Karena dulu sebelum mengklaim tanah ini berasal dari tambak, PT BTID sebelumnya mengklaim tanah objek sengketa ini berasal dari SK MLH. Itu awalnya tahun 2015, akhirnya Tahura turun tangan melakukan cek lokasi tanggal 22 Februari 2022 – 25 Februari 2022 di objek sengketa, disanalah dijelaskan ada surat dari Dinas Kehutanan Provinsi Bali tanggal 9 Maret 2022 bahwa objek sengketa ini jauh dari kawasan PT BTID, atau bukan bagian dari tanah kehutanan.
“Itu jelas sudah kemarin dalam sidang diiyakan. Namun setelah surat itu keluar, tiba-tiba berubah, mengatakan bahwa objek sengketa itu bagian dari tambak. Sudah dijelaskan dari dua saksi tadi bahwa tambak itu berada jauh dari tanah objek sengketa,” ungkap di Denpasar, Selasa (2/7/2024).
Dikatakan wanita yang akrab disapa Ipung ini, tidak semuanya sebelah Timur itu adalah laut dan tambak. Dan tambak sendiri berada paling Selatan yang berbatasan langsung sedikit dari tanah Daeng Abdul Kadir. Dan sepengetahuan saksi pertama dan ke dua, tambak tersebut direklamasi terlebih dahulu baru dijadikan kanal yang berfungsi sebagai pemisah antara warga lokal dengan kawasan PT BTID.
“Jadi kalau dikatakan tambak itu masuk ke objek sengketa, itu lucu. Karena jarak antara tambak dengan tanah sengketa itu jauh di Selatan dan tidak masuk ke lahan kami. Karena tambak berada di Selatan sebelah Timur Daeng Abdul Kadir. Sedangkan objek sengketanya dari Selatan sampai Utara. Jadi mohonlah PT BTID, akui saja karena bapak yang saya hadirkan jadi saksi adalah mantan Bendesa lima tahun, tiga belas tahun menjadi Kaling Banjar Peken. Mohonlah akui secara hati nurani, tambak ini sebelah mana, objek sengketa sebelah mana, itu saja,” ujarnya.
Setelah reklamasi tahun 1997, tambak yang tadinya sudah dijadikan daratan, digali lagi dijadikan kanal. Kanal ini dianggap atau dijadikan pemisah antara warga lokal dan kawasan PT BTID. Karena ini permintaan dari Parisada, harus ada zonasi karena ada Pura Sakenan, sehingga ada zonasi 800 meter. “Dari kanal itu baru masuk ke kawasan PT BTID, ini yang tidak pernah terungkap,” terangnya.
Ia berharap kesaksian pihaknya tersebut dapat mengunci kekisruhan selama ini bahwa kanal fungsinya adalah pemisah. Bahwa tambak itu sekarang dimana, pernah diuruk lalu digali dan dijadikan kanal. “Supaya ini kita harus paham, jangan sampai kanal sama tambak dijadikan satu sama jalan raya, kalau memang mau gontok-gontokan ayo kita turun coba diukur ulang tambak itu luasnya 17.650 meter persegi. Kemarin juga sudah dijelaskan sama mantan Bendesa Adat Serangan bahwa kanal itu dijadikan pemisah antara warga lokal dengan kawasan PT BTID. Saya yakin kalau majelis hakim tidak diintervensi, saya masih percaya independensi karena mereka adalah wakil Tuhan di dunia. Semoga,” pungkasnya. (007)