DENPASAR | patrolipost.com – Ada yang sudah nonton film THE LAST PRINCESS? Film yang dibintangi oleh Son Ye Jin ini diangkat dari kisah nyata kehidupan putri terakhir dari era Dinasti Joseon. Film ini dirilis pada tahun 2016 dengan penjualan tiket hingga 1,7 juta.
Siapa sebenarnya putri terakhir ini hingga begitu diingat oleh warga Korea dan cerita kehidupannya pun sampai dibuat sebuah film? Perjalanan hidupnya pun bahkan lebih dramatis daripada film itu sendiri.
Raja Gojong memiliki seorang anak dari seorang selirnya di tahun 1912 yang kini dikenal sebagai Putri Deokhye, yang juga disebut sebagai Ongju (Putri) – (Kalau Gongjoo (Putri) merupakan sebutan untuk anak dari Ratu). Diketahui Raja Gojong sudah berumur 60 tahun saat sang putri lahir. Deokhye pun merupakan satu-satunya anak perempuan yang dia punya sehingga ia begitu disayangi oleh sang ayah.
Sayang kehidupannya ternyata tidak seindah kehidupan layaknya seorang putri yang kita kenal. Di usianya 13 tahun, sang putri harus pindah ke Jepang untuk melanjutkan pendidikan di sana untuk bangsawan Jepang, belajar pelajaran bahasa Jepang sambil mengenakan pakaian Jepang atau Barat. Sebelumnya, sudah ada Putra Mahkota Youngchin yang sudah menempuh pendidikan di Jepang sejak usia sebelas tahun.
Sang Putri selalu merasa kesepian dalam hidupnya. Meskipun dia seorang putri bukan berarti hidupnya bahagia meski di negara orang. Deokhye Ongjoo dikucilkan di negeri orang. Dia hanya bisa menghabiskan waktunya dengan saudara tirinya. Namun hal ini juga tidak bisa mengobati kesendiriannya.
Kesedihannya pun bertambah ketika dia mendengar sang ibu meninggal di tahun 1929. Dalam peraturan kerajaan Jepang saat itu, Deokhye dilarang untuk mengenakan pakaian berkabung yang pantas untuk pemakaman. Hal ini membuat Putri Deokhye tertekan sehingga tak lama setelah kematian ibunya, sang putri mengalami gangguan saraf dan didiagnosis menderita skizofrenia sebelum waktunya.
Putri Deokhye pun akhirnya menikah di tahun 1931 meskipun pikirannya sedang tidak stabil. Sesuai dengan peraturan, ia dinikahkan dengan bangsawan Jepang Pangeran So Takeyuki dari klan bangsawan Tsushima. So Takeyuki dan Putri Deokhye dikaruniai anak perempuan di tahun 1932 yang diberi nama Masae.
Pernikahan perjodohan ini memburuk setelah Perang Dunia II berakhir. Kekayaan bangsawan Jepang pada saat itu begitu hancur, tak terkecuali So Takeyuki. Putri Deokhye pun dirawat di rumah sakit jiwa Tokyo pada tahun 1946 dikarenakan mengalami demensia. Ia dan suaminya pun bercerai ketika Putri Deokhye masih dirawat di rumah sakit.
Kehidupan bukan malah membaik, Putri Deokhye harus kehilangan Masae. Masae telah menikah, akan tetapi tiba-tiba putrinya ini menghilang tak berjejak dengan meninggalkan sebuah surat yang kemungkinan merupakan catatan bunuh diri.
Putri Deokhye pun berakhir dengan kembali ke negaranya. Namun, perjalanannya tak semulus yang diinginkan. Berawal dari kemerdakaan dan perang Korea yang meninggalkan kekacauan dan kegelisahan politik di Semenanjung Korea, koresponden Tokyo untuk Koran Seoul, Kim Eul Han melakukan upaya membawa Putri Deokhye kembali ke Korea di tahun 1950 setelah mendengar penderitaannya.
Akan tetapi, pemerintah Korea yang saat itu dipimpin oleh Presiden Lee Seung Man menentang membawa kembali anggota keluarga Kekaisaran dalam suasana politik baru. Kim Eul Han tak menyerah, hingga akhirnya Sang Putri berhasil kembali ke tanah airnya setelah 38 tahun kepergiannya.
Putri Deokhye menangis saat kembali ke Korea. Terlepas dari kondisi mentalnya, ia sangat ingat betul bagaimana tata krama istana. Sebuah tempat tinggal didirikan di Istana Changdeokgung. Pengasuh tuanya sejak masa mudanya ada di sana untuk merawatnya dan begitu pula saudara iparnya, istri Youngchin. Sang Putri pun meninggal pada tahun 1989 dan dimakamkan di samping ayahnya.(net)