Status HPL Ribuan Ha Lahan Akan Dicabut, Edi Endi: Saya Berkomitmen Menuntaskan Masalah Ini

edi weng6
Calon Bupati Manggarai Barat Nomor urut 2, Edistasius Endi saya berbicara di depan warga Kampung Mbrata, Desa Macang Tanggar, Kamis (7/11/2024). (ist)

LABUAN BAJO | patrolipost.com – Calon Bupati Manggarai Barat, Edistasius Endi menyebut penyelesaian polemik keberadaan lahan HPL (Hak Pengelolaan Lahan) seluas 3.662 hektar yang tersebar di sejumlah desa pada bagian Selatan wilayah Kecamatan Komodo akan segera menemui titik terang dalam waktu dekat.

Edi Endi menyebut, titik terang penyelesaian polemik lahan HPL yang selama ini menjadi kegelisahan masyarakat di sejumlah desa ini akan segera terselesaikan dengan dicabutnya status HPL atas ribuan hektar lahan tersebut.

Hal ini disampaikan Edi Endi di hadapan warga masyarakat Kampung Mbrata, Desa Macang Tanggar, Kecamatan Komodo, Kamis (7/11/2024) malam. Edi Endi menyebut titik terang ini merupakan salah satu hasil dari upaya dan kerja keras yang dilakukannya bersama dr Yulianus Weng selama memimpin Mabar 3 tahun 7 bulan.

Di hadapan warga Kampung Mbrata, Edi Endi menjelaskan lika – liku menjalani proses penyelesaian polemik lahan seluas ribuan hektar yang sejatinya telah berstatus HPL sejak tahun 1997 silam. Termasuk berbagai tudingan miring, caci maki hingga hinaan meskipun Edi Endi mencoba menjadi Bupati yang paling serius ingin menyelesaikan persoalan ini.

“Karena ini dari dulu, orang lain yang tidak urus, tapi sumpahnya di saya, padahal saya yang punya keinginan untuk mengurus ini,” ujar Edi Endi.

Edi Endi menjelaskan bahwa status HPL lahan seluas 3.662 hektar ini bermula pada tahun 1990. Saat itu, dua Dalu yakni Dalu Mburak dan Dalu Nggorang beserta 5 kepala desa yakni desa Labuan Bajo, Macang Tanggar, Golo Bilas, Warloka dan Watu Nggelek menyerahkan tanah ribuan hektar itu kepada pemerintah Dati II Kabupaten Manggarai untuk dibangunkan saluran irigasi.

Penyerahan ini turut disaksikan oleh 35 orang saksi yang berasal dari setiap anak kampung dari kelima desa tersebut. Penyerahan ini kembali diperkuat dengan lahirnya keputusan Bupati Manggarai pada kisaran tahun 1991 -1992 yang intinya mengatur tentang peruntukan lahan tersebut. Hal ini berlanjut hingga lahirnya Surat Keputusan (SK) HPL yang dikeluarkan oleh Gubernur NTT pada tahun 1997.

“Sesungguhnya ada kontradiktif di penyerahan tahun 1990, 1991 dan 1992, lalu tiba – tiba di tahun 1997, gubernur NTT membuat SK yang bunyinya supaya ini didorong menjadi HPL Transmigrasi. Biar clear untuk kita semua,” ujar Edi Endi.

Kemudian masih di tahun 1997, lanjut Edi Endi, terbitlah sertifikat HPL 001, namun sejak saat itu persoalan ini tidak secara tuntas diselesaikan dan berjalan hingga tahun 2012 dimana mulai ditemukannya persoalan dimana terdapat ratusan sertifikat HPL lahan Usaha 3 yang tidak ditemukan keberadaan lahan secara real di lapangan.

“Di tahun 2012, kadis saat itu, almarhum Pak Thomas Subino pergi membagi sertifikat. Sertifikatnya itu ada 3 jenis, yang pertama lahan usaha 1 untuk pekarangan, kedua lahan usaha 2 itu untuk sawah yang ketiga lahan yang setiap orang memperoleh satu hektar. Lalu apa yang ditemukan di lapangan? Lahan usaha 1 dan 2, tanahnya ada, sedangkan yang ketiga (lahan 3) tidak terlihat tanahnya (tapi) sertifikatnya ada,” ujar Edi Endi.

Edi menyebut persoalan ini kemudian mengakibatkan pembagian sertifikat di tahun 2012 tidak dilakukan secara tuntas, baik untuk lahan usaha 1 dan lahan usaha 2. Sementara untuk sertifikat lahan usaha 3 urung dibagikan. Sebanyak 200 sertifikat diputuskan dikembalikan ke kantor Pertanahan.

“Ada yang dibagi tahun 2012, ada yang tidak, untuk lahan usaha 1 dan 2, sedangkan yang ketiga, yang satu hektar, 200 sertifikat diputuskan untuk dikembalikan ke Badan Pertanahan. Jadi kalau ada dengar selama ini bahwa bupati gadai sertifikatnya, somba Mori, sekali lagi somba Mori, untuk apa? Tanahnya saja tidak ada, siapa yang terima?” ungkap Edi Endi.

Persoalan tidak hanya pada lahan usaha 3, baik lahan usaha 1 maupun 2 juga ditemukan adanya ketidaksesuaian. Diantaranya, perbedaan penempatan lahan yang tidak sesuai dengan yang tertera dalam sertifikat hingga adanya tuntutan dari sejumlah ahli waris.

“Lalu bagaimana dengan lahan usaha 1 dan 2, ternyata kondisinya, seharusnya orang itu dapat nomor di blok A tapi tinggal di blok D. Ada lagi yang dia pas di Blok A saat waktu mau bagi sertifikat, masing – masing dari 5 anaknya minta harus atas nama mereka. Saya kira ini bukan urusan pemerintah, tapi itu urusan orangtuanya mau diwariskan ke siapa. Pemerintah tidak mengurus sertifikat itu agar clear kasih ke anak yang pertama atau kedua, Pemerintah tidak berurusan dengan itu,” ucapnya.

Selain itu, Edi Endi juga menyebut sejumlah persoalan ini turut mengakibatkan 65 sertifikat belum semuanya dibagikan.

“Harus diakui bahwa tidak semua juga yang 65 itu sertifikatnya sudah keluar, lagi lagi toe di jadi bupati aku (saya belum jadi bupati saat itu),” ujarnya.

Persoalan ini kemudian berlarut hingga tahun 2019. Mengalami pasang surut dalam penanganannya hingga di tahun 2022 sejumlah kelompok masyarakat dari kawasan Translok Desa Macang Tanggar menemui Bupati Edistasius Endi guna membicarakan kelanjutan penyelesaian masalah ini.

“Di bulan Maret tahun 2022, sejumlah keluarga besar kita yang dari Translok ketemu saya. Saya sampaikan kita diskusi dulu, karena saya tidak tau awalnya. Diceritakan lalu dinotulenkan menjadi hasil rapat, ada tanda tangan dan seterusnya, dan mereka akui memang aslinya lahan untuk 200 hektar itu tidak ada.”

“Kalau tidak ada kenapa dibicarakan, tidak usah dibicarakan yang 200 itu yang penting clear-kan 65 bidang tanah yang belum disertifikatkan. Tentu tidak hanya kita mengurus yang 65, lalu kita temukan masalah HPL secara keseluruhan,” jelasnya.

Sejak saat itu lanjut Edi Endi, penanganan persoalan ini kemudian mendapatkan gambaran jelas terkait pokok persoalan terkait lahan HPL ini. Berbagai upaya pun dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat termasuk melakukan pendekatan dengan kementerian terkait.

“Sejak 2022 itu baru kita mulai titik start mengurus HPL 3.660 an hektar itu. Lima kali saya bersurat ke Kementerian. Saya punya dokumennya, surat terakhir itu di bulan April 2024 dan surat terakhir itu ibu Menteri memerintahkan Dirjennya untuk turun cek lokasinya di bulan Juni tahun 2024 lalu. Jauh sebelum saya ditetapkan saya menjadi calon Bupati mereka mengabarkan bahwa HPL itu akan dicabut,” sebut Edi Endi.

Dengan mendapatkan titik terang atas akhir dari upaya penyelesaian keberadaan lahan HPL ini, Edi Endi menegaskan bahwa kepemimpinan Edi – Weng selalu berupaya untuk menuntaskan setiap persoalan yang dihadapi masyarakat.

“Tapi pembicaraan ini, cait maju calon bupati aku ta, aram manga tombo situ musi mai, ta tombo hitu pengaruh mau jadi bupati (kebetulan saya maju calon Bupati, mungkin ada bapak ibu yang berpikir, yah pembicaraan ini dibuat karena saya kebetulan maju calon Bupati). Jadi apa yang saya sampaikan malam ini saya tidak memaksa bapak ibu untuk percaya. Percaya baik, tidak percaya juga baik tapi satu yang pasti saya mengurus itu sampai tuntas, apa tujuannya untuk mendapatkan kepastian.”

Edi Endi menyebut kepastian akan tuntasnya penyelesaian persoalan ini tentu sangat berdampak bagi warga masyarakat. Sehingga kepemimpinan Edi – Weng akan terus mengawal persoalan ini benar benar segera terselesaikan dalam waktu dekat.

Mau bawa ke bank pas untuk buka usaha atau mau urus anak mau ke sekolah tapi jawaban bank tidak bisa karena ini sertifikat HPL, ini yang sedang kita urus. Untuk saya sendiri yakin dalam waktu yang sesingkat – singkatnya menteri akan menandatangani. Dalam hasil rapatnya sesungguhnya sudah ada bahwa sudah final keputusan HPL itu dicabut tinggal menunggu dokumen tertulisnya. Mari kita doa bersama supaya dalam waktu dekat surat keputusannya itu keluar,” tutup Edi Endi. (334)

Pos terkait