DENPASAR | patrolipost.com – Mantan Wakil Gubenur Bali, I Ketut Sudikerta semakin terpojok. Tiga orang saksi yang dihadirkan JPU dalam sidang lanjutan perkara dugaan tindak pidana pencucian uang, penipuan atau penggelapan dan pemalsuan senilai Rp 150 miliar lebih menyudutkan Sudikerta dibandingkan dua terdakwa lainnya, Anak Agung Ngurah Agung (68) dan I Wayan Wakil (51).
Wayan Santoso mengaku menerima uang Rp 5 miliar, sedangkan Hendry Kaunang menerima Rp 10,5 miliar. Namun setelah ada masalah, keduanya pun mengaku telah mengembalikan komisi tersebut. “Saya menerima komisi Rp 5 miliar, tapi sudah saya kembalikan semua. Rp 2 miliar diambil Sudikerta, sisanya saya kembalikan ke PT Maspion. Ini bentuk tanggung jawab moral saya,” ucap Wayan Santoso di Persidangan Pengadilan Negeri (PN) Denpasar.
“Saya menerima Rp 10,5 miliar dari Sudikerta. Karena sebelumnya ada kesepakatan jika tanah itu laku. Tahu ini bermasalah sebagai tanggung jawab moral saya kembalikan uang itu, dibayar cicil. Saya juga mengundurkan dari sebagai komisaris PT Maspion,” ungkap Hendry Kaunang.
Wayan Santoso sebelumnya menerangkan, di tahun 2013 telah bertemu dengan Bupati Badung kala itu, Anak Agung Gede Agung. Pertemuan itu untuk menyampaikan jika Alim Markus hendak berinvestasi di Bali. Setelah pertemuan dengan bupati, dikatakannya bertemu dengan terdakwa Sudikerta yang menjabat sebagai Wakil Bupati Badung.
“Setelah itu ketemu terdakwa (Sudikerta). Kemudian terdakwa menawarkan tanah. Terdakwa bilang tanah itu miliknya,” terang pria yang berprofesi sebagai pengacara ini.
Pertemuan dengan Sudikerta pun berlanjut dan terjadi beberapa kali. Pertemuan juga membicarakan pengurusan izin hotel yang akan diselesaikan oleh Sudikerta. Hingga akhirnya disepakati adanya kerjasama antara PT. Marindo Investama dan PT Pecatu Bangun Gemilang.
Namun Wayan Santoso mengatakan, investasi pembangunan hotel tidak bisa dilaksanakan karena terjadi masalah. “Pembangunan hotel tidak bisa dilaksanakan karena ada sertifikat ganda. Setahu saya setelah ada masalah itu ada pertemuan untuk menyelesaikannya. Tapi saya sudah tidak ikut lagi,” jelasnya menjawab pertanyaan tim jaksa.
Saksi Hendry Kaunang dalam kesaksiannya membenarkan adanya beberapa kali pertemuan dengan Sudikerta terkait transaksi jual beli tanah di Balangan. Bahkan mantan komisaris PT Maspion ini pernah diajak Sudikerta mengunjungi lokasi obyek tanah tersebut.
“Saya pernah diajak ke lokasi tanah di Balangan oleh pak Sudikerta. Di sana kami juga bertemu pak Wayan Wakil. Untuk pembayaran seingat saya dua kali termin. Totalnya 149 miliar ke PT Pecatu Bangun Gemilang,” bebernya.
Namun Hendry Kaunang menyatakan, tidak mengetahui saat muncul masalah uang Alim Markus senilai Rp 149 miliar yang sudah dibayarkan ke PT Pecatu Bangun Gemilang apakah sudah dikembalikan. “Apakah saksi tahu uang Rp 149 miliar kembali ke Alim Markus,” tanya Jaksa Eddy Arta Wijaya. “Tidak tahu,” jawab Hendry Kaunang.
Kembali dikejar terkait komisi yang diterimanya dari Sudikerta, Hendry menegaskan telah mengembalikannya ke PT Maspion. “Uang yang saya terima dari sudikerta, saya kembalikan ke PT Maspion,” jawab Hendry Kaunang. “Kenapa dikembalikan ke PT Maspion. Saksi kan menerima dari Sudikerta,” kejar Jaksa Eddy Arta. “Karena saya melihat PT Maspion yang dirugikan dalam masalah ini. Ini tanggung jawab moral saya,” ucap Hendry Kaunang.
Ditanya lagi terkait adanya pertemuan di Surabaya, dimana hadir juga mantan Kepala BPN Badung, Tri Nugraha. Hendry Kaunang mengiyakan hadirnya Tri Nugraha. Namun ia menyatakan tidak mengetahui kapasitas Tri Nugraha hadir di pertemuan itu. “Saya tidak tahu apa kaitannya, yang jelas dia datang. Ada pak Sudikerta juga,” jelasnya.
Atas keterangan dua saksi ini, Sudikerta lebih banyak menyangkal.
Mantan Wakil Bupati Badung dan mantan Wakil Gubernur Bali itu mengaku sama sekali tidak ada melakukan penawaran atas tanah tersebut. “Justru yang datang dia, untuk membeli tanah kami. Bahkan dia datang ke rumah,” bantah Sudikerta.
Pun soal fee, dia membantahnya. Bahwa yang Rp 5 miliar, yang Rp 10,5 miliar itu merupakan perhitungan dari saksi. Bukan komisi dari Sudikerta. Selain itu Sudikerta juga membantah soal menjamin. “Ada benar dan ada salahnya. Menjamin, jika izin itu sesuai dengan perundang-undangan,” ucap Sudikerta.
Sementara saksi Gede Subakat yang terlebih dahulu diminta keterangan mengatakan, tahun 1997 dirinya diminta membantu proses perubahan aspek sertifikat tanah di Balangan. Setelah itu, sertifikat disimpan di Notaris Sujarni. “11 Agustus 2000 disimpan di Notaris Sujarni untuk keamanan bersama. Siapa pun tidak boleh mengambil sertifikat itu kecuali saya, pak rame dan AA Ngurah Agung (pengempon pura),” terangnya.
Namun dirinya mendapat informasi jika sertifikat tersebut akan dilakukan transaksi. “Saya tidak tahu ada permohonan sertifikat pengganti. Setelah itu saya mendapat informasi jika sertifikat (tanah di Balangan) itu ada transaksi. Saya dengar transaksinya antara Maspion, Wayan wakil dan Ngurah Agung. Lalu saya menelepon Bu Sujarni, apakah tanah di Balangan dijual, dan dia bilang sertifikat itu masih ada,” kata Subakat.
“Kemudian saya melapor ke mabes polri. Yang saya laporkan Wayan wakil dan AA Agurah Agung. Kemudian saya baca di media cetak, pemeriksaan dari kepolisian menyebutkan sertifikat tanah yang di beli PT Maspion itu palsu,” imbuhnya. (426)