SINGARAJA | patrolipost.com – Tukang banten atau yang lebih dikenal dengan istilah Sarati sebelumnya dikenal sebagai profesi yang tidak menjanjikan. Profesi itu hanya digeluti oleh kalangan perempuan dan itu pun kebanyakan telah berusia uzur.
Dalam pembuatan sesajen atau banten banyak makna filosofis yang harus diterapkan. Dahulu pekerjaan sebagai seorang sarati dipandang sebelah mata karena terlihat tidak menjanjikan seperti PNS, Polisi, Dokter, maupun Guru. Bekerja sebagai Sarati terkesan hanya dibutuhkan pada saat menjelang upacara keagamaan. Jika tidak ada upacara, maka tidak ada penghasilan.
Seiring perkembangan zaman, Desa Adat Buleleng membuat terobosan dengan membangun tempat kremasi (pembakaran jenazah) di areal setra Desa Adat Buleleng. Untuk melayani umat, Desa Adat Buleleng membentuk sejumlah kelompok bekerjasama dengan para Sarati pada 14 banjar adat.
Ketika Covid-19 melanda masyarakat tidak diperkenankan berkumpul, warga yang melaksanakan upacara kematian mulai berfikir praktis. Mereka meminta bantuan agar mayat dapat dikremasi dengan sesajen yang ada. Di sinilah aktifitas Sarati mulai meningkat sehingga perputaran ekonomi mulai tumbuh.
Melemahnya Covid-19 dan adanya krematorium tentu berpengaruh terhadap pendapatan seorang Sarati banten. Krematorium menjadi batu loncatan dalam meningkatkan ekonomi seorang Sarati, seperti diakui salah seorang Sarati Jro Mangku I Kadek Bayu Hermawan Suryadiasa, asal banjar adat Peguyangan.
”Upacara di Petunon yang banyak, saat itu kami kewalahan menangani. Saat itu kami hanya mendapatkan jeda dua hari, hari ini dapat giliran lagi dua harinya lagi dapat. Namun saat ini kami semakin banyak dapat job, tidak hanya untuk kremasi. Banten seperti tiga bulanan, menikah, maupun syukuran rumah juga ramai,” ujarnya, Senin (6/9).
Sedikitnya terbentuk 17 kelompok Sarati Banten. Berbeda dengan masa lalu, aktivitas sarati dalam melayani umat dan kebutuhan akan sesajen pengabenan belakangan ini menjadi setiap hari. Guna menghindari adanya kecemburuan, desa adat Buleleng sebagaimana diakui kelian desa adat Nyoman Sutrisna membentuk kelompok pada masing- masing banjar adat.
“Sarati di Desa Adat Buleleng kami atur secara bergantian, sehingga tidak ada yang berebut atau saling mendahului. Dengan penggunaan dari bahan banten, itu selalu silih berganti karena banten yang digunakan semua baru. Nah, buah yang dipakai dalam pitra yadnya kami kumpulkan untuk eco-enzym. Nah, ini perputaran yang baik dari segi ekonomi dan lingkungan yang dijaga,” ungkapnya.
Kini ekonomi para Sarati Banten khususnya di Desa Adat Buleleng mulai naik kelas. Minimal perputaran ekonomi di lingkup Desa Adat Buleleng semakin meningkat. Semoga profesi Sarati Banten dapat menjanjikan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, pengabdian dapat ekonomi juga dapat. (625)