WASHINGTON | patrolipost.com – Presiden Donald Trump membuat pengumuman mengejutkan pada hari Senin (7/4/2025) bahwa Amerika Serikat dan Iran siap untuk memulai perundingan langsung mengenai program nuklir Teheran. Namun, Menteri Luar Negeri Iran mengatakan perundingan di Oman akan dilakukan secara tidak langsung.
Sebagai tanda lebih lanjut dari jalan yang sulit menuju kesepakatan apapun antara kedua musuh geopolitik tersebut, Trump mengeluarkan peringatan keras bahwa jika perundingan tidak berhasil.
“Iran akan berada dalam bahaya besar,” ancam Trump dikutip dari Reuters.
Sementara itu, Iran telah menolak tuntutan Trump dalam beberapa minggu terakhir agar negara itu berunding langsung mengenai program nuklirnya atau dibom, dan tampaknya Iran tetap pada posisi itu hingga sekarang.
“Kami sedang melakukan perundingan langsung dengan Iran, dan mereka telah memulainya. Itu akan berlangsung pada hari Sabtu pekan ini. Kami memiliki pertemuan yang sangat besar, dan kita akan lihat apa yang bisa terjadi,” kata Trump kepada wartawan di Ruang Oval selama pertemuan dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang sedang berkunjung.
“Dan saya pikir semua orang setuju bahwa mencapai kesepakatan akan lebih baik,” kata Trump.
Ia menambahkan bahwa pembicaraan hari Sabtu dengan Iran akan dilakukan pada tingkat yang sangat tinggi, tanpa menjelaskan lebih lanjut. Ia menolak mengatakan di mana pembicaraan akan dilakukan tetapi menyatakan kemungkinan bahwa kesepakatan dapat dicapai.
Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araqchi mengunggah di X bahwa pembicaraan tingkat tinggi tidak langsung akan diadakan di Oman.
“Ini merupakan kesempatan sekaligus ujian. Bola ada di tangan Amerika,” tambahnya.
Pada hari Selasa (8/4/2025), media pemerintah Iran mengatakan pembicaraan akan dipimpin oleh Araqchi dan Utusan Presiden AS Steve Witkoff, dengan perantara menteri luar negeri Oman, Badr al-Busaidi.
AS dan Iran juga pernah mengadakan pembicaraan tidak langsung selama masa jabatan mantan Presiden Joe Biden tetapi diskusi tidak menghasilkan kesepakatan apapun. Negosiasi langsung terakhir yang diketahui antara kedua pemerintah terjadi di bawah Presiden Barack Obama saat itu, yang mempelopori kesepakatan nuklir internasional 2015.
Peringatan Trump tentang aksi militer terhadap Iran telah mengguncang suasana tegang di Timur Tengah setelah perang terbuka di Gaza dan Lebanon, serangan militer di Yaman, perubahan kepemimpinan di Suriah, dan baku tembak antara Israel dan Iran.
Trump yang telah meningkatkan kehadiran militer AS di wilayah tersebut sejak menjabat pada bulan Januari mengatakan bahwa ia lebih memilih kesepakatan mengenai program nuklir Iran daripada konfrontasi bersenjata. Menurutnya, pada tanggal 7 Maret ia telah menulis surat kepada Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei untuk mengusulkan perundingan. Pejabat Iran saat itu mengatakan bahwa Teheran tidak akan diintimidasi untuk berunding.
“Iran tidak dapat memiliki senjata nuklir dan jika perundingan tidak berhasil, saya benar-benar berpikir itu akan menjadi hari yang sangat buruk bagi Iran,” kata Trump di Ruang Oval, Senin (7/4/2025).
Perundingan langsung tidak akan terjadi tanpa persetujuan tegas dari Khamenei, yang pada bulan Februari mengatakan perundingan dengan AS “tidak cerdas, bijaksana, atau terhormat.”.
Iran Menyukai Negosiasi Tidak Langsung
Beberapa jam sebelum pengumuman Trump, juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Esmail Baghaei mengatakan Iran sedang menunggu tanggapan AS atas usulan Teheran untuk perundingan tidak langsung. Ia mengatakan Republik Islam yakin bahwa mereka membuat tawaran yang murah hati, bertanggung jawab, dan terhormat.
Setelah Trump berbicara, seorang pejabat senior Iran, yang berbicara dengan syarat anonim menegaskan kembali bahwa perundingan dengan AS terkait Nuklir dilaksanakan secara tidak langsung.
“Perundingan tidak akan langsung … Akan dilakukan dengan mediasi Oman,” ungkap pejabat Iran tersebut.
Oman, yang menjaga hubungan baik dengan AS dan Iran, telah lama menjadi saluran pesan antara kedua negara yang bermusuhan itu.
Nournews Iran, yang berafiliasi dengan badan keamanan tertinggi negara itu menggambarkan pernyataan Trump tentang rencana pertemuan langsung sebagai bagian dari “operasi psikologis yang bertujuan memengaruhi opini publik domestik dan internasional.”
Seorang pejabat Iran kedua, yang berbicara dengan syarat anonim, mengatakan selama akhir pekan bahwa mungkin ada waktu sekitar dua bulan untuk mencapai kesepakatan, dengan alasan kekhawatiran bahwa musuh lama Iran, Israel, mungkin akan melancarkan serangannya sendiri jika pembicaraan berlangsung lebih lama.
Netanyahu, yang tidak banyak menunjukkan dukungan untuk negosiasi AS dengan Iran, mengatakan jika diplomasi dapat mencegah Teheran mendapatkan senjata nuklir.
“Secara penuh, seperti yang dilakukan di Libya, saya pikir itu akan menjadi hal yang baik,” imbuhnya.
Selama masa jabatannya 2017-2021, Trump menarik AS dari kesepakatan 2015 antara Iran dan negara-negara besar dunia yang dirancang untuk mengekang pekerjaan nuklir Iran yang sensitif dengan imbalan keringanan sanksi. Trump juga memberlakukan kembali sanksi AS yang luas. Sejak saat itu, Iran telah jauh melampaui batasan kesepakatan itu pada pengayaan uranium.
Negara-negara Barat menuduh Iran memiliki agenda rahasia untuk mengembangkan kemampuan senjata nuklir dengan memperkaya uranium ke tingkat kemurnian fisik yang tinggi, di atas apa yang mereka katakan dapat dibenarkan untuk program energi atom sipil.
Teheran mengatakan program nuklirnya sepenuhnya untuk tujuan energi sipil. Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih tidak segera menanggapi permintaan untuk rincian.
Pergeseran itu terjadi pada saat yang genting bagi “Poros Perlawanan” regional Teheran yang telah didirikannya dengan biaya besar selama beberapa dekade untuk menentang Israel dan pengaruh AS. Poros itu telah sangat melemah sejak serangan kelompok Palestina Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023, yang menjerumuskan Timur Tengah ke dalam konflik. (pp04)