BORONG | patrolipost.com – Tembok Penahan Tanah (TPT) di SDI Golo Wunis, Lambaleda Selatan, Manggarai Timur yang roboh beberapa hari setelah selesai dibangun akhirnya dikerjakan ulang. Para pekerjanya pun sudah bukan orang Jawa lagi karena menurut informasi, tukang dari Jawa yang mengerjakan tembok rapuh sebelumnya sudah kembali ke tempat asalnya.
Pantauan patrolipost.com, Sabtu (9/11/2024), para pekerja sudah membangun tembok baru walaupun hanya bagian atasnya saja, karena yang rapuh dari tembok yang diperkirakan puluhan meter panjangnya dominan bagian atasnya.
Terlihat juga susunan batu di tembok rapuh bagian atas hanya diisi campuran semen dari bagian luarnya saja, sedangkan bagian dalamnya hanya tersusun batu tanpa campuran semen yang mengikat.
“Kami baru beberapa hari bekerja membangun kembali tembok yang roboh ini. Tukang pertamanya sudah kabur ke Jawa,” ungkap salah satu pekerja, Petrus Suma.
Menurut Petrus, tembok tersebut dibangun lebih tebal dan campurannya lebih kuat agar bertahan lama, namun tentunya kekuatan tembok tersebut akan diuji oleh fenomena alam yang kebetulan sekarang memasuki musim hujan.
Di lokasi, terdapat juga sebuah batu yang cukup besar berada di halaman sekolah. Keberadaan batu tersebut membuat halaman sekolah menjadi lebih sempit. Sekilas, batu ini terlihat seperti mesbah (compang).
“Mungkin mau dijadikan ‘compang’, nanti ditambahin ‘cangkat’ (tatakan dari bambu untuk menaruh bahan persembahan kepada leluhur) biar lebih menarik,” seloroh seorang pekerja.
Batu tersebut dilihat dari ukurannya bisa diakali dengan menggunakan eskavator yang masih parkir di lokasi proyek. Dipecahkan hingga rata dengan halaman atau bisa jadi digali dan dibenamkan ke dalam tanah.
“Halaman sekolah bisa jadi lebih luas jika batu besar tersebut bisa diakali. Terlihat bahwa pemandangan yang terganggu dengan batu di halaman sekolah kurang sedap dipandang mata,” celetuk salah satu pekerja lainnya.
Pembangunan infrastruktur apapun harus bisa tahan uji terhadap tantangan alam. Bukan dibangun lalu sekejap roboh lagi, lalu alam menjadi ‘kambing hitam’ untuk menutupi kualitas pengerjaan yang buruk. (pp04)