LABUAN BAJO | patrolipost.com – Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), Krispianus Bheda Somerpes dicopot dari jabatannya. Pencopotan ini merupakan sanksi yang dikeluarkan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) setelah Krispianus dinyatakan melakukan kekerasan seksual kepada salah seorang staf KPU Mabar.
Sanksi ini diberikan DKPP dalam sidang pembacaan putusan perkara dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) yang diadukan oleh CG, staf KPU Mabar. Dalam sidang putusan dengan nomor perkara 5- PKE-DKPP/I/2024 yang dibacakan ketua DKPP di Jakarta, Krispianus mendapatkan peringatan keras dan sanksi pencopotan.
“Menjatuhkan sanksi peringatan keras dan pemberhentian dari jabatan ketua kepada teradu Krispianus Beda selaku ketua merangkap anggota KPU Manggarai Barat terhitung sejak putusan ini dibacakan,” ucap Ketua DKPP Hedi Lugito dalam sidang putusan yang juga disiarkan secara daring, Selasa (28/5/2024).
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyatakan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Manggarai Barat Krispianus Bheda terbukti telah melakukan kekerasan seksual kepada salah satu staf pegawai negeri sipil (PNS). DKPP memerintahkan KPU untuk melaksanakan putusan tersebut paling lama tujuh hari sejak putusan dibacakan. DKPP juga memerintahkan Bawaslu untuk mengawasi pelaksanaan putusan tersebut.
Anggota majelis sidang DKPP Ratna Dewi mengatakan putusan tersebut dibuat dengan menimbang fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Ratna menyebut dalil yang dibeberkan pengadu atau korban susuai dengan fakta persidangan.
Selain itu, DKPP juga berpendapat Krispianus tidak dapat menjaga integritas pribadi, tertib sosial, dan kehormatan penyelenggara pemilu. Krispianus telah mendistorsi marwah kelembagaan serta menciptakan kondisi yang tidak nyaman di lingkungan lembaga.
“DKPP juga berpendapat, teradu tidak layak dan tidak pantas menjabat sebagai Ketua KPU Kabupaten Manggarai Barat periode 2024-2029,” ujar Ratna Dewi.
Kronologi Kekerasan Seksual Krispianus
Anggota majelis sidang DKPP lainnya, I Dewa Kadek Wiarsa Raka Sandi membeberkan dalil aduan korban. Berdasarkan aduan korban, Krispianus Beda diduga melakukan kekerasan seksual secara fisik dan nonfisik kepada korban selaku PNS di sekretariat KPU Kabupaten di Manggarai Barat pada 2019.
Raka menyebutkan kekerasan seksual ini pertama kali terjadi sekitar Juli 2019 di kamar kos pengadu. Saat itu, pengadu izin tidak masuk ke kantor karena sakit. Namun, Krispianus mendatangi kosan korban dengan dalih mengantarkan minyak oles untuk mengobati korban.
Raka menyebut kedatangan Krispianus tidak diinginkan korban. Namun, Krispianus memaksa untuk datang. Krispianus juga diduga memaksa untuk mengoleskan minyak kepada korban yang mukanya sedang bengkak.
Pada saat yang bersamaan, Krispianus berupaya mencium secara paksa dan berupaya memperkosa korban.
“Namun pengadu berhasil menghindar dan teradu berhasil meninggalkan kos teradu,” ujarnya.
Setelah peristiwa tersebut, korban menerangkan bahwa Krispianus melakukan beberapa kali tindakan kekerasan seksual nonfisik, diantaranya menghubungi pengadu melalui panggilan video atau video call, meminta pengadu mengirimkan foto tidak senonoh dan menceritakan fantasi seksual yang mengarah pada pelecahan seksual.
“Teradu didalilkan sering menyampaikan niatnya untuk mengatur perjalanan dinas bersama pengadu,” sebut Raka.
Selain itu, dugaan kekerasan seksual secara fisik yang kedua terjadi saat perjalanan dinas di Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat, NTT pada 18 Desember 2019 silam.
Korban menyatakan Krispianus menemuinya di penginapan dengan alasan sedang sakit dan memerlukan obat. Namun, Krispianus justru menemui korban dalam keadaan mabuk karena pengaruh minuman beralkohol dan melakukan pelecahan seksual terhadapnya.
Dalam persidangan, Krispianus membantah dan menyangkal seluruh dalil aduan pengadu. Dalil kekerasan seksual secara fisik dan nonfisik menurut Krispianus mengada-ada dan fitnah.
“Menurut teradu, tuduhan tersebut merendahkan martabat pribadi dan jabatan teradu selaku anggota KPU Kabupaten Manggarai Barat,” ujarnya.
Krispianus menyebut pengadu melakukan hal tersebut karena memiliki motif untuk menjatuhkan dirinya pada proses seleksi anggota KPU Kabupaten Manggarai Barat Periode 2024-2029.
Selain itu, Krispianus juga berdalih bahwa pengadu memiliki ambisi pribadi untuk mendapatkan promosi kenaikan jabatan menjadi Bendahara dan atau Kasubag di lingkungan sekretariat KPU Mabar.
Terkait aduan kekerasan seksual fisik yang terjadi di kos pengadu pada Juli 2019, teradu beralasan tidak pernah mendatangi dan tidak mengetahui lokasi kos pengadu. Adapun terhadap peristiwa saat perjalanan dinas di Kecamatan Lembor pada 18 Desember 2019 teradu membantah mendatangi pengadu dalam keadaan mabuk dan melakukan pelecahan seksual. Krispianus juga membantah adanya kekerasan seksual non fisik dengan tidak pernah melakukan komunikasi dengan pengadu yang mengarah tindakan pelecehan seksual.
Raka menyampaikan kejadian ini pernah dilaporkan korban kepada ketua KPU Mabar periode 2019-2024, Robertus Din serta Anggota KPU Mabar Ponsianus Mato.
Selain itu, pada Mei 2020 korban berupaya menyampaikan laporan ke Polres Manggarai Barat. Korban membuat aduan kepada Marianus Demon Hada selaku kepala unit Pelayanan Perempuan dan Anak. Saat itu, Marianus menyarankan korban menemui Kanit baru. Namun laporan tidak dilanjutkan karena korban mau melanjutkan studi S2 ke Semarang pada Agustus 2020.
“Dalam menjalani proses belajar tersebut, pengadu mengalami trauma psikologis dan stress berkepanjangan dengan gejala seperti mengalami perasaan tidak percaya kepada orang lain, gangguan tidur, kesulitan konsentrasi, sakit kepala, kehilangan semangat belajar, dilingkupi perasaan ditipu dan tidak berdaya,” jelas Raka.
“Pengadu merasa khawatir apabila permasalahannya dengan teradu tidak terselesaikan, maka ketika kembali lagi ke bertugas ke KPU Manggarai Barat akan berakibat fatal bagi kondisi pengadu,” tutupnya. (334)