LABUAN BAJO | patrolipost.com – Sejumlah warga RT11 dan 12, RW 006, Dusun Kaper, Desa Golo Bilas, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat mengeluhkan pengoperasian tempat usaha campur beton (Batching Plant) yang berada di tengah pemukiman warga. Proses produksi campuran beton milik PT Gunung Sari ini tidak memperhatikan aspek lingkungan. Suara bising mesin produksi serta debu yang dihasilkan dinilai sangat mengganggu kenyamanan warga.
Seorang warga yang tidak ingin namanya disebutkan mengaku pengoperasian Batching Plant ini tidak memperhatikan keberadaan warga sekitar. Polusi udara yang diakibatkan sangat mengancam kesehatan warga sekitar.
“Kita merasa dirugikan dengan adanya kegiatan produksi campuran beton ini. Efeknya dari produksi ini itu polusi udara. Debunya beterbangan kemana kemana. Awal – awal kami maklumi, tapi kebelakangnya kita tidak nyaman juga,” ujar warga RT 12 RW 006 tersebut, Selasa (27/4/2021) lalu.
Selain itu warga tersebut juga mengeluhkan suara bising yang dihasilkan dari pengoperasian mesin batching plant tersebut. Ia menjelaskan, warga pernah melakukan pemblokiran jalan masuk menuju area Batching Plant tersebut. Jam operasional hingga larut malam menyebabkan suara bising mesin produksi mengganggu waktu istrahat warga.
“Dulu awalnya, beberapa warga yang ada di sini melakukan aksi penolakan pertama kali. Awalnya malam itu mesin beroperasi mulai dari sore sampai malam hari, hingga jam 12 malam pun mesin juga belum berhenti. Pemiliknya dihubungi untuk menghentikan pengoperasian. Kami juga butuh istirahat. Kondisi mesin yang berisik sangat mengganggu warga sekitar. Anak – anak kita menangis tengah malam karena tidak nyaman. Akhirnya diberhentikan dan dari situ sudah tidak ada lembur lagi,” tuturnya.
Setelah hampir selama 1 tahun (tahun 2020) tidak digunakan, belakangan Batching Plant tersebut kembali beroperasi. Meskipun pengoperasiannya tidak dilakukan setiap hari, namun warga sekitar pun mulai merasa waswas akan bahaya polusi udara yang akan kembali dihasilkan, suara bising mesin produksi serta kondisi jalan yang ditakutkan akan kembali rusak.
Menurutnya jalan masuk itu dulunya rusak sekali, belum diaspal seperti sekarang ini. Kalau musim hujan itu berlumpur dan kalau musim kering itu berdebu. Setelah dikomplain oleh warga, baru Baba Heri (Bos PT Gunung Sari, red) buat jalan. Aktivitas keluar masuk kendaraan besar yang menyangkut hasil campuran itu pasti akan buat jalan kembali rusak, belum debunya nanti.
“Kasihan rumah rumah warga sekitar. Dia (perusahaan) dapat uang, kami dapat penyakit. Bukan hanya kami saja, disini juga ada sekolah. Mereka juga terganggu. Guru SDN Kaper dulu pernah jatuh di situ. Ya itu tadi kondisi jalan yang rusak itu,” lanjutnya.
Sementara itu, Miki, warga lainnya menyampaikan ia pernah menyarankan agar PT Gunung Sari selaku pengelola bisa mencegah agar debu yang dihasilkan tidak beterbangan keluar area produksi sehingga mengganggu kenyamanan Warga.
“Kita sudah pernah sampaikan ke pekerjanya, kalau bisa pasir siram air dulu, biar tidak terlalu berdebu. Tapi nyatannya tetap saja debu – debu itu beterbangan keluar masuk ke dalam rumah kita. Ini tentu sangat mengganggu. Kita juga tidak pernah melarang kegiatan ini. Kita juga tidak tau ada izin atau tidak, kalau pun ada, ya seharusnya diperhatikan juga dampaknya bagi masyarakat sekitar,” timpal Miki.
Keluhan yang sama juga disampaikan oleh Yohanes Pani, warga sekitar. Selain masalah kebisingan suara mesin dan debu yang dihasilkan, Yohanes menyayangkan keberadaan mesin Batching Plant di tengah – tengah pemukiman warga.
“Sangat menganggu, polusi udara yang ditimbulkan itu sangat mengganggu kesehatan. Debu itu dibawa angin sampai ke rumah kami. Termasuk juga sampai ke area Sekolah SDN Kaper. Belum lagi dengan kebisingan suara mesinnya. Usaha seperti ini seharusnya tidak boleh berada di tengah pemukiman warga. Sangat miris tatkala Labuan Bajo menyandang predikat destinasi wisata super premium justru membiarkan izin usaha seperti ini ada sekitar rumah – rumah warga,” serunya.
Izin pengoperasian juga dipertanyakan oleh Selus, warga RT 12 RW 006 Dusun Kaper. Selus mempertanyakan proses perizinan yang tidak pernah melibatkan warga sekitar.
“Kita juga tidak tau soal perizinannya, apakah memang ada atau tidak, tapi seharusnya sebelum izin itu keluar pasti ada persetujuan juga dari masyarakat sekitar. Selama ini kami juga tidak pernah diminta soal itu. Tau-taunya terima debu,” ujarnya.
Lanjutnya, alat itu beroperasi di tahun 2019, kami sudah 11 tahun tinggal di sini tapi tidak pernah dapat panggilan untuk ikut rapat bahas lingkungan soal tempat itu. Saya tidak tau yang lain mungkin. Karena setahu saya warga sekitar harus dihadirkan waktu pembahasan terkait izin lingkungannya,” lanjutnya.
Sudah Kantongi Izin
Sementara itu, Pimpinan PT Gunung Sari Heribertus Terisno saat ditemui di kediamannya menyampaikan dirinya sebelum memulai pengoperasian Batching Plant ini telah bertemu dengan warga sekitar guna meminta izin. Dalam pertemuan yang melibatkan 14 warga yang tinggal di sekitar lokasi Batching Plant tersebut juga dicapai sebuah kesepakatan mendukung pengoperasian Batching Plant tersebut. Selain itu terdapat juga kesepakatan untuk memperbaiki jalan masuk menuju area Batching Plant.
“Dari awal sebelum saya buka sudah bertemu dengan warga sekitar. Tatap muka dengan warga termasuk Tua Golo Kaper. Kita ada kesepakatan bersama. Ada kompensasinya saya buatkan lapen. Kita dari awal sudah permisi. Memang tidak seluruh warga, tapi yang terdekat. Sebelum barang itu dipasang kita panggil semua sekitar termasuk Tua Golo,” ujarnya, dikonfirmasi Rabu (28/4/2021).
Pembuatan jalan (lapen) ini menurut pria yang akrab disapa Heri ini merupakan atas dasar permintaan dari Tua Golo Kaper saat itu. Hal ini didasari kondisi jalan yang masih terbuat dari tanah dan sering mengakibatkan banyak pengendara motor jatuhsaat melunasi jalan tersebut.
“Jalan waktu itu sudah ada, cuman masih jalan tanah. Tua Golo minta kalau hujan kan licin, disitu orang sering jatuh dan kita sepakat untuk buat baik (lapen). Itu hasil CSR ( Tanggung Jawab Sosial Perusahan / Corporate Social Responsibility). Kesepakatan pertama di Tahun 2019 waktu itu,” jelasnya.
Selain proses sosialisasi kepada warga sekitar Heri juga mengaku telah mengantongi izin pengoperasian Batching Plant tersebut baik rekomendasi dari pemerintah daerah maupun Pemerintah Provinsi NTT. Sembari menunjukan dokumen perizinan tersebut, Heri mengaku tidak akan berani berusaha jika tidak mendapatkan izin dari pemerintah.
“Kalau untuk izin tambang, kami sudah urus, ini dokumen – dokumennya, lengkapi dengan dokumen lingkungan juga termasuk Izin Prinsip Lokasi (IPL). Berarti Pemerintah menyetujui kita beroperasi di situ. Usaha saya ini tidak liar, semua izin saya punya, saya juga tidak mau kerja kalau ilegal. Selain itu kita juga tidak melupakan masalah sosial,” tuturnya.
Heri juga menyayangkan keluhan warga sekitar yang tidak pernah disampaikan secara langsung kepada dirinya. Ia berharap warga sekitar mau menyampaikan keluhan secara langsung kepadanya agar dapat kemudian dicarikan solusinya.
“Saya sangat menyayangkan mereka (warga) tidak pernah omong langsung ke saya. Keluhannya seperti apa, sehingga kita bisa ketemu dan komunikasikan, baiknya seperti apa. Keluhan itu selalu saya dengar dari orang lain, bahkan dari orang yang tidak tinggal di sekitar area produksi. Saya terbuka dengan siapa saja, kalau mereka tidak bisa menemui saya, biar saya yang temui, nanti kita diskusi soal itu,” tukasnya.
Terkait upaya meminimalisasi adanya debu yang berterbangan keluar dari area produksi, Heri mengaku telah diantisipasi dengan terlebih dahulu melakukan penyiraman pada material pasir sebelum dicampur. Selain itu, volume debu yang dihasilkan menurutnya sangatlah kecil, sehingga tidak menyebabkan polusi udara seperti yang dikeluhkan. (334)