BANGLI | patrolipost.com – Puluhan warga adat Songan, Desa Songan, Kecamatan Kintamani, Bangli, mendatangi kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Bangli, Rabu (30/10). Dengan mengenakan pakaian adat, warga meminta agar pihak BPN Bangli menunda proses pensertifikatan tanah yang diajukan Bendesa Adat.
Pantauan di lapangan, puluhan warga mendatangi kantor BPN Bangli sekitar pukul 11.00 Wita. Warga datang dengan membawa surat permohonan agar dilakukan penundaan penyertifikatan lahan di wilayah desa adat Songan. Kedatangan puluhan warga ini diterima Kepala BPN Bangli, Arie Handono.
“Kami tahu sudah diproses, maka dari itu kami mencoba mencari tahu ke BPN. Saat kami di BPN disampaikan yang dijadikan dasar untuk sertifikasi adalah surat kuasa, tentu menjadi persoalan karena tanah yang ada di Desa Songan dinyatakan sudah diberikan kuasa pada bendesa untuk melakukan proses sertifikat. Sementara kami tidak pernah memberikan kuasa kepada bendesa,” tegasnya.
“Sepengetahuan saya ada beberapa jenis status tanah, yakni tanah pekarangan desa, tanah ayahan desa dan tanah laba pura. Sejauh yang saya ketahui yang diprioritaskan dalam program pemerintah tanah laba pura,” sambungnya. Kata Gede Parwata pihaknya sudah bertemu dengan kepala BPN, dan dinyatakan siap menunda proses penerbitannya.
Disinggung bahwa pada 2017 lalu sudah terbit sejumlah sertifikat di wilayah desa adat Songan, kemudian tahun ini kembali dilanjutkan, Putu Wardana enggan berkomentar. “Kami tidak ikut campur dengan itu, kami fokus pada proses sekarang,” sebutnya.
“Status laba pura dan yang mengajukan adalah bendesa. Untuk dokumen sudah lengkap sehingga bisa diproses. Dalam proses ini ada warga yang berkeberatan. Sejatinya kami sudah lakukan mediasi kemarin (Selasa), mempertemukan pihak bendesa dengan warga,” terangnya.
Bahwa dalam mediasi tersebut sudah ada kesepakatan yang mana proses pensetifikatan dipending. “Kemarin sudah ada kesepakatan untuk dipending, tapi hari ini sejumlah warga datang. Kami perlu tegaskan bahwa proses ini ditunda, jika sampai terbit kami siap bertanggungjawab,†sebutnya.
Disebutkan, yang menjadi polemik adalah status tanah, yang mana sejumlah masyarakat meyakini tanah tersebut miliknya sedangkan dari bendesa tanah tersebut adalah laba pura. “BPN tidak tahu status tanah jika belum disertifikatkan, bila sudah bersertifikat tentu ada arsipnya,†tegasnya.
Lanjut Arie Handono, untuk program PTSL di wilayah Desa Songan ditarget 2.000 bidang, yang masuk baru 1.300 bidang. Sedangkan untuk persoalan diinternal desa adat Songan, diberikan kesempatan untuk menyelesaikan, jika sudah ada kesepakatan baru akan dilakukan proses oleh BPN.
Bendesa adat songan, Jero Temu saat dikonfirmasi mengungkapkan kalau tanah yang diusulkan disertifikatkan merupakan tanah pelaba pura dalem dengan luas hampir 156 hektar di Banjar Dalem, Desa Songan lewat program PTSL. Proses pensertifikatan pelaba pura tersebut sudah dimulai sejak tahun 2017.
Sementara saat disinggung terkait adanya protes dari warga terkait proses pensertifikatan tersebut, kata Jro Temu sah-sah saja kalau membilang lahan tersebut lahan pribadi, tetapi harus didukung dengan bukti otentik. “Kami punya bukti otentik untuk status tanah pelaba pura yang disertifiaktkan yakni berupa Petok D dan block kumunal,” jelasnya.
Sambung Jero Temu, mereka yang datang ke BPN adalah krama yang ingin menguasai tanah tersebut secara pribadi dan mereka adalah sebagian kecil dari krama Songan yang jumlahnya 3.700 krama. “Hanya sebagai kecil dari krama Songan kurang dari 1 persen jumlah krama Songan,” ucapnya. Bahkan Jero Temu menambahkan jika warga tidak setuju bisa saja diselesaikan lewat jalur pengadilan.
Sebutnya, tujuan dari pensertifikatan ini adalah untuk melakukan pendataan terkait bidang tanah dimaksud serta ingin mengetahui siapa yang menggarap dan tinggal di tanah pelaba pura tersebut. “Tujuan kami hanya melakukan pendataan agar jelas asset tanah desa adat,” imbuh Jero Temu. (750)