Tradisi Kawin Tungku, Perkawinan Berbasis Hubungan Keluarga di Manggarai, Ini Aturan yang Wajib Dipatuhi

kawin tungku
Ilustrasi Suami Istri. (Pixabay)

BORONG | patrolipost.com – Masyarakat Manggarai tidak asing lagi dengan istilah kawin ‘Tungku’ (sambung). Kawin Tungku sepintas merupakan perkawinan sedarah, namun lebih kepada memilih sepupu sebagai pasangan. Hal ini bertujuan agar secara turun-temurun relasi kekeluargaan (weta nara) tetap terjalin erat.

Dalam prosesnya, aturan kawin Tungku sangat jelas, Anak laki-laki dari Saudari bisa menikahi anak perempuan dari Saudara. Dalam kasus ‘Tungku Cu’ Anak Laki-laki dari saudari kandung bisa menikahi anak perempuan dari saudara kandungnya.  Perkawinan ini hanya berlaku jika kedua pihak yang mempunyai anak merupakan adik kakak kandung yang merupakan laki laki dan perempuan.

Bacaan Lainnya

“Hanya anak-anak dari pihak saudara dan pihak saudari yang bisa melakukan kawin tungku. Selain dari itu tidak bisa dibolak balik, hanya anak laki-laki dari saudari yang bisa menikahi anak perempuan dari saudara,” ungkap Bernadus, salah satu masyarakat adat di Heso, Lambaleda Selatan, Manggarai Timur, Kamis (29/5/2025).

“Jika anak laki laki dari saudara menikahi anak perempuan dari saudari, itu merupakan pelanggaran adat yang berat dan bisa dipisahkan (diceraikan/perkawinannya dibatalkan),” tambahnya.

Menurut Bernadus, aturan lainnya adalah antara kakak dan adik kandung jika pria semua, maka anak-anaknya tidak boleh untuk saling jatuh cinta satu sama lain. Begitupun jika yang bersaudara kandung merupakan perempuan semua, maka anak-anaknya tidak boleh menikah satu sama lain.

Selain itu, pasangan ‘Tungku Cu’ dulu sempat agak sulit untuk dinikahkan oleh  Gereja pada zaman dulu. Bahkan sampai sekarang, pasangan Tungku Cu masih termasuk pasangan dengan kategori karena dalam diri kedua sosok yang saling mencintai masih mengalir sebagian darah yang sama.

Dalam perkawinan ‘Tungku’ lainnya, orang tua kedua mempelai tidak harus bersaudara kandung. Namun aturan yang sama adalah harus tetap anak laki-laki dari saudari menikahi anak perempuan dari saudara.

Namun, dalam beberapa kasus dikenal istilah ‘Cako’ yaitu perkawinan antara anak perempuan dari adik (pria) dinikahi anak laki laki dari kakaknya (pria). Selanjutnya, keturunan adiknya akan menjadi Anak Rona (pihak saudara) dan keturunan kakaknya menjadi Anak Wina (pihak Saudari).

“Contohnya adalah Suku Lenang yang ada di Kampung Heso, Manggarai Timur, Lambaleda Selatan. Menurut penuturan para orang tua, dulu hanya ada suku Lenang namun sekarang ada sebutan Suku Lenang 1 dan 2, nenek moyang  Suku Lenang Satu dulunya merupakan adik dari nenek moyang suku Lenang Dua.  Anak laki laki dari nenek moyang suku Lenang 2 kemudian menikahi anak perempuan dari nenek moyang suku Lenang 1 sehingga sekarang statusnya sudah menjadi anak wina dan anak rona,” papar Bernadus.

Lanjut Bernad, ‘Cako’ diberlakukan agar pertumbuhan penduduk dalam satu kampung bisa berkembang dalam bingkai hubungan kekeluargaan. Sekarang Suku Lenang 1 menjadi Anak Rona dan suku Lenang Dua menjadi anak Wina karena bermula dari perkawinan Cako.

Secara wajar, status seorang masyarakat adat Manggarai ada dua jenis, anak rona dan pada sisi lainnya anak wina, tergantung tempat dan waktunya dalam urusan adat.

Namun, banyak yang menyandang status adat secara bolak balik karena pelanggaran. Banyak yang dulunya berstatus Anak Rona malah menjadi Anak Wina karena ‘kesalahan’ dalam hal jatuh cinta. Ada pula yang berstatus tidak mutlak Anak Rona karena dalam dirinya ada unsur anak Wina karena faktor pasangannya yang sebenarnya tidak sah secara adat.

Pelanggaran dalam memilih jodoh hanya bisa dicegah dengan kontrol orang tua, terutama memberitahukan kepada generasinya mana yang bisa dijadikan pasangan dan mana yang tidak boleh. Bukan hanya tergiur dengan wajah cantik atau ganteng saja. (pp04)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *