BORONG | patrolipost.com – Keberagaman adat dan budaya di Nusantara melahirkan upacara/ritus unik dan sacral. Salah satunya adalah upacara kenduri ‘Paki Kaba’ di Manggarai Raya, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Upacara ‘Paki Kaba’ dalam rangka memelihara tradisi yang diwariskan para leluhur secara turun temurun. Selain itu, Paki Kaba menjadi doa adat sakral memohon berkat dari ‘Mori Kraeng’ dan para leluhur agar mendapat berkat pada suatu suku dalam sebuah kampung adat.
Pantauan patrolipost.com, Rabu (31/8/2022) upacara Paki Kaba dilaksanakan di Kampung Menge dalam rangka upacara sendiri para leluhur yang terdiri 7 kakek dan 8 nenek yang sudah meninggal.
Salah satu tokoh adat kampung Menge yang menyelenggarakan upacara Paki Kaba, Yohanes Kasman menjelaskan, upacara besar tersebut digelar untuk menjawab tuntutan para leluhur dan memohon berkat untuk kehidupan mereka beserta para saudari serta anak-anak mereka ke depan.
“Ini upacara yang intinya memohon berkat kepada Tuhan dan para leluhur agar kehidupan ke depannya semakin baik. Selain itu acara ini dilaksanakan berdasarkan inisiatif dan kesepakatan bersama satu suku,” jelas Yohanes.
Upacara ini, jelas Yohanes mesti melalui persiapan matang, materi maupun persiapan psikologis.
“Harus melalui persiapan. Ini upacara yang banyak ditakuti karena jika prosesnya salah, akan ada korban yang jatuh,” katanya.
Persiapan matang, berupa gejur (persiapan personal dari rumah) sehingga saat upacara berlangsung akan berjalan lancar tanpa hambatan.
Dalam upacara kenduri sakral tersebut, tetua adat asal Kampung Leong, Stef Angka ditunjuk sebagai pembicara yang menjadi perantara para penyelenggara dengan leluhur mereka. Upacara puncak ditandai dengan nyanyian dan doa adat diiringi tarian tradisional. Setelah itu, beberapa perwakilan tetua adat (Anak Rona) secara bergiliran menebaskan parang ke leher kerbau jantan yang diikatkan pada tiang kayu di mesbah halaman kampung Menge.
Acara kenduri sakral tersebut dimulai beberapa hari sebelum hari puncak pemotongan kerbau. Hari-hari tersebut diisi dengan proses-proses tertentu yang dijalankan para tetua adat kampung Menge dan kampung sekitarnya yang terus disemarakkan dengan tarian tradisional (raga dan sae).
Sementara itu, anggaran yang digunakan bersumber dari gotong royong dan sida (sumbangan dari para saudari pelaksana). Setiap anak wina yang berjumlah kurang lebih 85 orang menyumbangkan uang berkisar Rp 1 juta sampai Rp 3 juta untuk menyukseskan acara tersebut.
Seekor kerbau dan seekor babi disembelih di tengah halaman kampung dan kemudian hati hewan tersebut diambil untuk dilihat oleh seorang tetua adat yang memimpin (Stef Angka). Menurut penglihatannya, upacara tersebut diterima dengan senang hati oleh Tuhan Yang maha Kuasa dan para leluhur. (pp04)
Leluhur itu tidak bisa memberikan berkat bagi yang masih hidup,semua berkat bersal dari Tuhan