DAMASKUS | patrolipost.com – Kelompok Islamis pimpinan pemberontak Ahmad al-Sharaa tidak butuh waktu lama menancapkan kekuasaannya di negara Suriah sama seperti saat mereka merebut kekuasaan di negara itu. Para penguasa baru mengerahkan polisi, membentuk pemerintahan sementara, dan bertemu dengan beberapa utusan asing, yang menimbulkan kekhawatiran mengenai seberapa inklusifnya para penguasa baru Damaskus itu nantinya.
Melansir reuters, sejak kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS) pimpinan Sharaa menyingkirkan Bashar al-Assad dari kekuasaan pada hari Minggu sebagai pimpinan aliansi pemberontak, para birokratnya -yang hingga minggu lalu menjalankan pemerintahan Islamis di sudut terpencil di Barat Laut Suriah telah pindah ke kantor pusat pemerintahan di Damaskus.
Pengangkatan Mohammed al-Bashir, kepala pemerintahan daerah di kantong HTS di Idlib, sebagai Perdana Menteri Sementara Suriah yang baru pada hari Senin (9/12/2024) menggarisbawahi status kelompok tersebut sebagai kelompok bersenjata paling kuat yang berjuang selama lebih dari 13 tahun untuk mengakhiri kekuasaan tangan besi Assad.
Meskipun merupakan bagian dari al Qaeda sebelum memutuskan hubungan pada tahun 2016, HTS telah meyakinkan para pemimpin suku, pejabat lokal, dan warga Suriah biasa selama perjalanannya ke Damaskus bahwa mereka akan melindungi agama minoritas, dan memperoleh persetujuan luas. Pesan tersebut membantu memperlancar kemajuan pemberontak dan Sharaa -yang lebih dikenal sebagai Abu Mohammed al-Golani.
Di kantor gubernur Damaskus, yang dindingnya dihiasi dengan marquetry dan kaca patri yang indah, pria yang dibawa dari Idlib untuk mengelola berbagai urusan menepis kekhawatiran bahwa Suriah tengah diarahkan ke bentuk pemerintahan Islam.
“Tidak ada yang namanya pemerintahan Islam. Bagaimanapun, kami adalah Muslim dan itu adalah lembaga atau kementerian sipil,” kata Mohammed Ghazal seorang insinyur sipil berkacamata berusia 36 tahun dengan janggut tebal yang dibesarkan di Uni Emirat Arab pada Kamis (12/12/2024).
“Kami tidak memiliki masalah dengan etnis dan agama apa pun, yang membuat masalah itu adalah rezim (Assad),” ungkapnya.
Namun, cara HTS membentuk pemerintahan sementara yang baru dengan mendatangkan para administrator senior dari Idlib telah menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian orang. Empat sumber oposisi dan tiga diplomat mengatakan kepada Reuters bahwa mereka khawatir tentang inklusivitas proses sejauh ini.
Bashir mengatakan bahwa ia hanya akan tetap berkuasa hingga Maret. Namun HTS yang masih diklasifikasikan sebagai kelompok teroris oleh Amerika Serikat, pialang kekuasaan regional Turki, dan pemerintah lainnya – belum menjelaskan rincian utama dari proses transisi, termasuk pemikirannya tentang konstitusi baru.
“Anda mendatangkan (menteri) dari satu warna, seharusnya ada partisipasi dari yang lain,” kata Zakaria Malahifji, sekretaris jenderal Gerakan Nasional Suriah yang pernah menjabat sebagai penasihat politik bagi pemberontak di Aleppo. Ia mengatakan kurangnya konsultasi dalam pembentukan pemerintahan sementara merupakan langkah yang salah.
“Masyarakat Suriah beragam dalam hal budaya, suku, jadi sejujurnya ini mengkhawatirkan,” tutupnya. (pp04)