SINGARAJA | patrolipost.com – Pandemi Covid-19 benar-benar meluluhlantakkan dunia pariwisata Buleleng. Sudah dua tahun pandemi berlangsung belum ada tanda-tanda pariwisata akan bangkit. Bahkan sejak pemerintah membuka bandara Ngurah Rai Denpasar untuk penerbangan internasional (open border) tak juga ada perubahan signifikan. Kondisi itu memantik rasa putus asa mendalam bagi kalangan pelaku pariwisata.
Yang paling terpukul yakni kawasan pariwisata Desa Pemuteran, Kecamatan Gerokgak dan sekitarnya. Biasanya dalam kondisi normal, tamu asing yang berlibur di kawasan ini kebanyakan dari Eropa. Memanfaatkan ketenangan suasana dan manawarkan wisata laut dengan habitatnya para turis Eropa kerap memanfaatkan waktu selama beberapa hari mengeksplorasi keindahan bawah laut, baik itu terumbu karang alami maupun biorock tempat berhimpun bermacam biota laut.
Kini tempat itu lengang, tak ada aktivitas berarti di kawasan yang dulu terkenal dengan tempat nyaman para turis berlibur. Sejumlah hotel terlihat tak terurus, bahkan ada beberapa di antaranya sudah tak lagi mendapat sentuhan perawatan dari pemiliknya. Para pekerja hotel yang biasanya hilir mudik menemani dan melayani tamu sudah tak terlihat lagi. Banyak diantara mereka sudah beralih profesi untuk sekadar bisa bertahan menghadapi tantangan hidup. Ada yang menjadi nelayan, petani ternak bahkan bekerja serabutan sebagai buruh kasar.
Namun, di tengah situasi seperti itu, beberapa pekerja hotel masih terlihat melakukan aktivitas ringan pada beberapa hotel dan vila. Mereka mengaku selain sudah merasa memiliki hotel tempat mereka mengais rezeki sejak puluhan tahun lalu, juga diminta owner untuk tetap merawat bagian hotel sembari menunggu kondisi membaik. Mereka mengaku tak digaji dengan uang, namun dibayar dengan beras. Cukup tak cukup, mereka mengaku tak punya pilihan.
“Ya benar, kami dibayar beras dan itu bayaran yang kami anggap paling realistis di tengah matinya pariwisata Bali,” ujar Made Riasta yang sebelumnya Manejer di Hotel Selini di kawasan Desa Pemuteran, Kamis (11/11/2021).
Made Riasta mengatakan, sejak bulan April 2020 sudah tidak ada lagi tamu menginap. Itu artinya merupakan sinyal kuat bahwa hotel tempatnya mengais rezeki sejak masih muda dulu pelan-pelan akan tutup. Benar saja, Hotel Selini satu diantara banyak hotel di Desa Pemuteran terpaksa ditutup.
“Nyaris semua karyawan hotel dirumahkan karena hotel sudah tidak mampu membayar gaji mereka,” sambung Riasta.
Namun demikian, pihak owner masih mempekerjakan dua orang dengan shift pendek. Menurut Riasta, dua pekerja tersebut termasuk dirinya masih terus melakukan perawatan hotel dengan skala kecil agar hotel tidak rusak. Mereka pun mengaku tidak dibayar dengan uang, namun berupa beras karena antara dirinya dengan owner hotel sudah seperti keluarga.
“Bayangkan di tengah hotel dengan zero pendapatan, kami masih melakukan perawatan kecil-kecilan dan maintence dengan biaya paling minimal. Paling tidak diperlukan biaya Rp antara 15 juta hingga Rp 20 juta untuk merawat sejumlah bangunan hotel, kolam dan taman. Itupun tidak pasti karena keterbatasan anggaran,” ungkapnya.
Sementara hanya dibayar menggunakan beras tak lebih 20 kg sebulan, Riasta bersama rekannya yang lain sesama pekerja pariwisata banting tulang mencari biaya hidup untuk menunjang keberlangsungan hidup keluarganya.
“Saya sendiri kadang bertani dengan menanam jagung. Ada juga yang menjadi nelayan, beternak hingga kerja serabutan. Kalau itu tidak dilakoni kami akan makan apa,” imbuhnya.
Riasta awalnya optimis saat pemerintah membuka penerbangan internasional Bandara Ngurah Rai, Bali namun kabarnya belum ada terlihat kedatangan turis asing mendarat di Bali. Baru wisatawan domestik yang terlihat wira wiri di beberapa tempat wisata di Bali.
“Apapun itu kami tetap optimis semoga kondisi pandemi segera berakhir. Sebab di bulan Maret 2022 kami sudah menerima beberapa bookingan tamu dari Eropa. Jika Covid-19 tak lagi jadi momok dan kondisi terus membaik, ini akan menjadi langkah awal kebangkitan pariwisata Bali,” tandasnya. (625)