DENPASAR | patrolipost.com – Tanpa mengabaikan dampak global pandemi Covid-19 di seluruh wilayah Indonesia, Provinsi Bali paling menderita didera virus Corona. Hal ini disebabkan pariwisata menjadi lokomotif pembangunan Bali, yang menghela sektor-sektor lain agar bergerak maju.
Selama ini ekonomi Provinsi Bali tumbuh, bahkan berada di atas rata-rata nasional karena adanya kunjungan warga negara asing yang menikmati eksotisme alam, seni, adat dan budaya Bali.
Sektor pariwisata mengharuskan komunikasi dan interaksi yang intens antara wisatawan sebagai tamu dan masyarakat Bali sebagai tuan rumah. Namun semua itu harus dihindari setelah para ahli epidemiologi menemukan cara terbaik melawan virus Corona adalah dengan memproteksi diri dari orang lain, menghindari interaksi dengan menjaga jarak (social distancing). Pemerintah Indonesia kemudian merumuskannya dengan 3M (memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan). Diikuti dengan larangan 3R (ramai-ramai, rumpi-rumpi dan ruang sempit).
Maka sejak pemerintah Indonesia mengumumkan pasien pertama Covid-19 pada 2 Maret 2020 dan pasien pertama yang meninggal di Indonesia terjadi di Denpasar, Pemerintah Provinsi Bali langsung memproteksi diri dari tamu asing. Tamu yang selama ini diharapkan datang membelanjakan uangnya di Bali harus ditolak untuk mencegah penduduk Bali terpapar Covid-19. Apalagi terhadap WNA yang memiliki riwayat perjalanan ke RRT, negara tempat virus ini pertama kali ditemukan akhir 2019.
Langkah itu diambil sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat yang melarang kunjungan warga negara asing serta membatasi warga negara Indonesia melakukan perjalanan ke luar negeri. Pasien pertama Covid-19 Indonesia yang meninggal dunia terjadi di Denpasar, Bali, berjenis kelamin perempuan berusia 53 tahun berkewarganegaraan Inggris. Pasien ini tercatat sebagai kasus ke-25 positif Corona di Indonesia yang diumumkan pada 10 Maret 2020. Juru Bicara Khusus Pemerintah untuk Penangan Covid-19 Achmad Yurianto menjelaskan, sebelum meninggal pasien mendapat perawatan di RSUP Sanglah, Denpasar, Bali.
“Pasien memiliki riwayat penyakit berat sejak masuk rumah sakit. Penyakitnya antara lain diabetes, hipertensi, hipertiroid dan penyakit paru yang menahun. Jadi bukan karena Corona sebagai penyebab utama, tapi itu yang memburuk kondisinya,” kata Yuri saat itu.
Sejak bulan Maret itulah secara perlahan tapi pasti, Provinsi Bali mulai kehilangan pendapatan dari sektor unggulan pariwisatanya, dan berlangsung sampai hari ini. Pariwisata Bali begitu terguncang dan sempoyongan ketika terjadi tragedi Bom Bali I (2002), Bom Bali II (2005) dan letusan Gunung Agung (2017). Bisa dibayangkan, betapa dahsyatnya dampak pandemi global virus Corona yang sudah berlangsung selama 7 bulan bagi pariwisata Bali.
Para turis yang sedang berlibur di Bali dipulangkan ke negaranya berkoordinasi dengan kedutaan dan konsulat masing-masing. Sedangkan turis yang berencana berlibur ke Bali ditolak sesuai dengan instruksi pemerintah pusat yang menghentikan seluruh penerbangan asing ke Indonesia sejak 24 April 2020. Di sisi lain sejumlah negara melakukan lockdown sehingga warganegaranya tidak bisa bepergian ke luar kota/negaranya. Covid-19 tidak hanya melumpuhkan pariwisata Bali dan Indonesia, tapi juga pariwisata di seluruh dunia.
PMI dan Pemulihan Ekonomi
Lumpuhnya pariwisata dunia menimbulkan efek domino kepada seluruh sendi kehidupan masyarakat dan negara di dunia, tanpa terkecuali. Bali sebagai daerah tujuan wisata dunia, selama ini juga menjadi provinsi terbesar penyumbang pekerja migran Indonesia (PMI) ke seluruh dunia. Ada puluhan ribu PMI asal Bali yang bekerja di fasilitas pariwisata kota-kota dunia mulai dari restoran, cafe, pub, travel agen sampai kapal pesiar.
Para PMI ini kehilangan pekerjaan manakala tempat mereka bekerja tutup akibat pandemi, dan dianjurkan untuk pulang ke Indonesia, sebab dikhawatirkan akan menjadi beban bagi negara tempat mereka bekerja. Sampai akhir Juni 2020 saja, Pemprov Bali mencatat sebanyak 16.961 PMI tiba di Bali, sebanyak 12.705 orang merupakan PMI asal Bali. Mereka tiba di Bali melalui Bandara I Gusti Ngurah Rai dan Pelabuhan Benoa, menumpang kapal pesiar yang singgah di Bali.
Pulangnya ribuan PMI ini menjadi beban tersendiri bagi Pemprov Bali. Tidak saja beban karena bertambahnya jumlah pengangguran, tapi juga harus bekerja all out mencari cara pencegahan agar PMI tidak menjadi pemicu semakin masifnya penularan Covid-19 kepada keluarganya dan masyarakat di lingkungannya. Apalagi diketahui imported case atau penularan Covid-19 dari warga negara asing sangat tinggi di Bali.
Menurut Ketua Harian Gugus Tugas Percepatan Penanganan (GTPP) Covid-19 Provinsi Bali Dewa Made Indra, jumlah kedatangan PMI dan juga ABK kapal pesiar asal Bali masih berlangsung sampai akhir Agustus, sebab masih banyak PMI yang belum pulang ke Bali. Di sisi lain, dari hasil tracing terhadap pasien positif yang bermunculan di beberapa kabupaten di Bali, tertular dari keluarganya, yakni PMI yang baru pulang dari luar negeri.
Beban PMI ini menambah berat beban Pemprov Bali serta kabupaten/kota menghadapi gelombang PHK serta karyawan yang dirumahkan oleh usaha sektor pawisata. Sejak April 2020, hampir semua kabupaten/kota di Bali melaporkan telah terjadi penutupan ratusan hotel, restoran, fasilitas dan usaha wisata. Dampaknya, mereka terpaksa merumahkan ribuan karyawan, Sebagian diantaranya dilakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Seperti provinsi lain, Pemerintah Provinsi Bali pun melakukan refocusing anggaran untuk penanganan Covid-19. Sedikitnya Rp 756 miliar dari APBD 2020 dialihkan untuk penyaluran bantuan stimulus usaha terdampak Covid-19. Anggaran sebanyak itu dialokasikan untuk 3 golongan yakni: 1) Penanganan Kesehatan terkait Covid-19 dengan pagu anggaran Rp 275 miliar, 2) Penanganan Dampak Covid-19 terhadap ekonomi dengan pagu anggaran Rp 220 miliar dan 3) Penanganan Dampak Covid-19 terhadap masyarakat dalam bentuk Jaring Pengaman Sosial dengan pagu anggaran sebesar Rp 261 miliar.
Hal serupa dilakukan 9 pemerintahan kabupaten/kota se-Bali terhadap APBD masing-masing. Kisaran anggaran yang disisihkan antara Rp 37 miliar (Kabupaten Bangli) sampai Rp 274 miliar (Kabupaten Badung), tergantung besaran PAD kabupaten/kota.
Refocusing anggaran dari APBD ini, terutama pada mata anggaran pembangunan infrastuktur, perjalanan dinas, belanja langsung, dan penyertaan modal bisa dipastikan menghambat pertumbuhan ekonomi Bali. Pembatasan kegiatan masyarakat untuk mencegah penularan Covid-19 berdampak negatif terhadap semua sektor, terutama pariwisata yang menjadi andalan.
Badan Pusat Statistik (BPS) Bali mencatat, tingkat pertumbuhan ekonomi Pulau Dewata pada Januari-Juni, kontraksi sedalam 6,13 persen jika dibandingkan semester I-2019. Semakin terjerembab pada triwulan II-2020 atau periode April-Juni 2020 sampai 0,98 persen dibandingkan periode sama tahun lalu.
“Perekonomian Bali menghadapi penurunan yang dalam. Penurunan dua digit ini sejarah pertama dialami Bali,” ujar Kepala BPS Bali Adi Nugroho, dalam paparan daring, Rabu (5/8/2020) lalu.
Adi menuturkan, skema penurunan dua triwulan berturut-turut ini belum pernah terjadi pada ekonomi Bali. Menurutnya penurunan tajam ini disebabkan pandemi Covid-19 yang berdampak negatif terhadap perekonomian daerah secara keseluruhan. Bukti ini bisa dilihat dari data BPS Bali yang memperlihatkan kategori lapangan usaha akomodasi, makanan dan minuman sebagai penyumbang pertumbuhan ekonomi terbesar, justru tumbuh negatif.
Begitu pula sektor transportasi dan pergudangan, pengadaan listrik, industri pengolahan dan jasa lainnya, semua terpukul karena Covid-19. Hanya tercatat lapangan usaha informasi dan komunikasi mengalami pertumbuhan positif.
Berbagai pembatasan diberlakukan oleh Pemprov Bali dalam upaya pengendalian penularan Covid-19 di tengah masyarakat. Antara lain, dalam bentuk pemberhentian penerbangan komersial di Bandara Ngurah Rai, pengetatan protokol lalu lintas transportasi laut dan ASDP termasuk penyeberangan penumpang dalam rangka mudik Lebaran.
Khusus di Kota Denpasar, ibukota Provinsi Bali diberlakukan kebijakan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PKM) sebagai bentuk lain dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Semuanya berpengaruh langsung pada capaian nilai tambah produksi serta berdampak negatif terhadap semua sektor usaha kepariwisataan Bali.
Dipuji Presiden, Apa Hasilnya?
Berbagai upaya memang telah dilakukan Pemprov Bali dalam mencegah dan menanggulangi pandemi Covid-19. Jika di daerah lain, cara-cara penanganan dilaksanakan secara sekala (terukur/nyata), namun di Bali dibarengi pula dengan upaya niskala (gaib).
Kebijakan Penanganan Kesehatan dengan pagu anggaran Rp 275 miliar dari APBD Bali 2020 dibagi dalam 2 skema yakni penanganan kesehatan berbasis desa adat dengan anggaran Rp 75 miliar. Skema ini terbagi 2 paket: kegiatan secara niskala dan sekala. Paket niskala dilaksanakan dengan Nunas Ica bersama Pemangku di Pura Kahyangan Tiga dengan cara Nyejer Daksina di Desa Adat, mulai tanggal 31 Maret 2020 sampai Covid-19 berakhir atau ada pemberitahuan lebih lanjut.
Pelibatan Desa Adat dengan seluruh perangkatnya memang menjadi kekuatan tersendiri Pemprov Bali dalam menghadapi pandemik. Pecalang atau petugas keamanan yang merupakan elemen penting di struktur banjar dan desa adat menjadi garda terdepan dalam mencegah dan menanggulangi Covid-19 di seluruh wilayah Bali.
Kekhasan ini pula yang membuat Bali terlihat ‘perkasa’ menghadang terjangan Covid-19. Tak heran apabila Presiden Joko Widodo (Jokowi) memuji cara penanganan Covid-19 yang dilakukan Pemprov Bali. Menurut Presiden, meskipun Bali tidak melaksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), namun Pulau Dewata nyatanya menunjukkan kemampuan yang memadai untuk menekan laju penyebaran Covid-19.
“Saya kira kerja-kerja efektif yang dilakukan Pemerintah Provinsi Bali dalam penanganan Covid-19 bisa dijadikan contoh. Karena memang jika dilihat, Bali ini paling banyak turis dari Tiongkok, harusnya yang paling banyak terkena dampak itu Bali,” kata Presiden dalam Rapat Terbatas (Ratas) Evaluasi Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) melalui video conference, Selasa (12/5/2020) di Istana Merdeka.
Menurut Jokowi, langkah dan kebijakan yang dilakukan Pemerintah Provinsi Bali sangat bagus sekali terutama lewat satuan tugas berbasis desa adat. Satgas dalam lingkup desa adat ini merupakan langkah yang sangat baik dalam proses pembatasan wilayah hingga proses isolasi jika ada peningkatan kasus.
“Cara-cara seperti inilah yang kita inginkan, karena mereka yang ada di tingkat yang paling bawah itu yang paling tahu apa yang harus dilakukan. Saya kira jika semua desa, semua kampung melakukan hal itu (seperti di Bali, red) akan sangat memudahkan pengawasan, pengontrolan dan terbukti di Bali,” puji Presiden.
Tingkat kesembuhan pasien Covid-19 di Bali memang berada di atas rata-rata nasional. Sedangkan angka kematian rata-rata di bawah nasional. Sampai Rabu (28/10/2020) total pasien Covid-19 yang sembuh di Pulau Dewata mencapai 10.397 orang atau 89,72 persen dari total pasien positif. Sedangkan angka kematian sebanyak 380 orang atau 3,28 persen dari total kasus positif.
Per 28 Oktober 2020 dilaporkan, kasus aktif di Bali sebanyak 811 orang (7,00 persen), yang tersebar dalam perawatan di 17 rumah sakit rujukan dan tempat karantina. Antara lain di Bapelkesmas, UPT Nyitdah, Wisma Bima dan BPK Pering yang disiapkan Pemprov Bali.
Kendati jumlah warga terpapar serta pasien meninggal masih ada, namun angkanya sudah cenderung melandai menjelang akhir Oktober 2020. Jika sepanjang Juli – Agustus angka kasus baru rata-rata di atas 100 orang, maka di pengujung Oktober mulai turun jadi 60-an orang. Sedangkan kasus meninggal yang semula 2 digit turun jadi 1 digit.
Tren penurunan itu diharapkan tidak membuat Pemprov Bali dan jajarannya lengah. Sebab, selain klaster keluarga, pasar, PMI, perkantoran dan upacara adat yang terbukti massif menularkan Covid-19, kini muncul klaster baru seperti Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), cuti bersama dll.
Kemungkinan munculnya klaster baru yang berujung terenggutnya nyawa warga masih sangat terbuka, dan Bali akan semakin tertatih didera pademi ini. Sebab, sejauh ini belum ada kepastian kapan pandemi Covid-19 akan berakhir. (izarman)