JAKARTA | patrolipost.com – Eforia pelantikan Presiden/Wakil Presiden Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka yang kemudian disusul pelantikan 48 menteri, langsung diwarnai kegaduhan akibat ulah tiga menteri. Kegaduhan ini kontan membuat publik khawatir bakal muncul desakan reshuffle kabinet di bawah 6 bulan.
Yandri Susanto
Pertama, publik dikejutkan oleh keberanian Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) Yandri Susanto mengedarkan undangan haul (peringatan hari wafat) sang Ibundanya menggunakan kop surat dan stemple resmi Kementerian Desa PDT yang ia tandatangani sebagai Menteri.
Surat tersebut mengarahkan para kepala desa di wilayah Kramat Watu, Serang, Banten, untuk menghadiri acara peringatan Haul ibunda Yandri Susanto di Pondok Pesantren BAI Mahdi Sholeh Ma’mun. Mahfud MD menilai bahwa tindakan ini merupakan suatu kekeliruan yang patut diperhatikan dan dikoreksi.
Keritikan langsung datang dari berbagai kalangan, termasuk mantan Menko Polhukam, Mahfud MD. Melalui akun X pribadinya, Mahfud mengatakan jika surat itu valid, maka apa yang dilakukan Yandri itu keliru dan salah.
“Saran hari ke-2 kpd Menteri Desa. Kalau benar surat di bwh ini dari Menteri, maka ini keliru,” tulis Mahfud di akun X @mohmahfudmd, dikutip Rabu (23/10/2024).
“Acara keluarga spt. haul Ibu dan peringatan hari agama di ponpes mestinya yg mengundang pribadi atau pengasuh ponpes. Tak boleh pakai kop dan stempel kementerian,” ujarnya.
Ia pun meminta Yandri untuk lebih berhati-hati ke depannya dalam menggunakan simbol pemerintahan.
“Utk ke depannya, hati2,” pungkas Mahfud.
Yandri Susanto pun telah memberikan tanggapannya atas hal ini, dan mengucapkan terima kasih kepada Mahfud MD atas kritikannya.
“Terima kasih kepada Pak Mahfud yang sudah mengeritik itu dan tidak akan kita ulangi lagi,” kata Yandri.
“Itu bisa kita koreksi nanti, tapi sekali lagi tidak disalahgunakan, tidak dibelokkan,” kata Yandri kepada wartawan usai acara di Ponpes Bai Mahdi Sholeh Ma’mun, Kabupaten Serang, Banten, Selasa (22/10/2024) lalu, dikutip dari Kompas.com.
Natalius Pigai
Kedua, Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai meminta anggaran kementeriannya dinaikkan menjadi di atas Rp 20 triliun. Dia menilai anggaran Kementerian HAM yang saat ini hanya Rp 64 miliar tidak cukup untuk mewujudkan visi Presiden Prabowo Subianto di bidang HAM.
“Maka, tim transisi rombak itu anggaran dari cuma Rp 64 miliar jadi Rp 20 triliun, enggak bisa. Tidak tercapai dengan visi Presiden RI Prabowo Subianto,” kata Pigai di kantornya, Jakarta, dikutip Selasa, (22/10/2024).
“Kalau negara punya kemampuan, maunya di atas Rp20 triliun. Pigai bisa bangun. Saya ini orang pekerja lapangan. Saya negara punya anggaran, saya maunya Rp20 triliun,” lanjut dia. |
Pigai menilai Prabowo tentu punya alasan khusus membentuk Kementerian HAM. Menurut dia, Prabowo punya rencana besar di balik pembentukan kementerian tersebut.
“Kenapa Presiden mau bikin Kementerian HAM? Berarti ada sesuatu yang besar yang mau dibikin,” kata dia.
Karena itu, Pigai menilai bahwa penyusunan visi, misi, dan strategi sampai penyusunan anggaran Kementerian HAM haruslah dilihat sebagai potret pembangunan HAM secara menyeluruh. Menurut dia, upaya untuk mencapai pembangunan tersebut tak bisa dilakukan apabila anggarannya kecil.
Permintaan Pigai ini direspons sinis aktivis Papua, Veronica Koman. Melalui cuitannya di akun X pribadinya Selasa (22/10/2024), Veronica berujar:
“Menteri HAM dikasih anggaran 64M, protes, minta anggaran 20T. Katanya duit mau dipake buat membangun HAM.”
Lantaran merasa janggal, pengacara sekaligus pegiat HAM itu pun mempertanyakan motif Natalius Pagai yang meminta uang Rp20 triliun setelah menjabat sebagai menteri.
“Gw sampe S2 belajar HAM belum pernah ketemu konsep pembangunan HAM. Mau buat ape luuuuu duit segituuuuu. Surem!” sambung cuitan Veronica Koman.
Cuitan Veronica Koman yang menanggapi soal anggaran Rp20 triliun yang diminta Menteri HAM Natalius Pigai ikut diramaikan oleh kalangan netizen dengan beragam komentar. Namun, banyak yang ikutan menyindir sang menteri atas permintaan anggaran Rp20 triliun meski belum kinerjanya belum kelihatan.
Yusril Ihza Mahendra
Kehebohan ketiga muncul dari Menteri Koordinator (Menko) Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra. Ia menyebut bahwa peristiwa berdarah tahun 1998 bukan pelanggaran HAM berat. Menurut Yusril, beberapa tahun belakangan ini tidak pernah terjadi kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia, termasuk kasus 1998.
“Enggak (kasus 1998 tidak termasuk pelanggaran HAM berat),” kata Yusril di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (21/10/2024), sehari setelah ia dilantik Prabowo.
Yusril mengaku, dulu saat menjabat Menteri Hakim dan HAM, dirinya mengikuti sidang di PBB soal kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM, tetapi tidak terkait kasus dugaan pelanggaran HAM Berat.
“Selama beberapa tahun terakhir tidak terjadi kasus pelanggaran HAM yang berat. Waktu saya jadi menteri hakim dan HAM, saya tiga tahun menjalani sidang komisi HAM PBB di Jenewa dan kita ditantang menyelesaikan soal-soal besar,” ucap Yusril.
Pernyataan kontroversial Yusril itu kemudian menuai respons negatif karena dinilai tak berempati pada perasaan keluarga korban 98 yang hingga saat ini masih mencari keadilan.
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid menyatakan, tidak sepantasnya pejabat pemerintah mengeluarkan pernyataan yang keliru tentang hak asasi manusia (HAM). Apalagi, dari pejabat yang salah satu urusannya soal legislasi bidang HAM. Itu tidak mencerminkan pemahaman undang-undang yang benar, khususnya pengertian pelanggaran HAM yang berat pada penjelasan Pasal 104 Ayat (1) dari UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM maupun Pasal 7 UU Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Usman menegaskan, pernyataan Yusril mengabaikan laporan-laporan resmi pencarian fakta tim gabungan bentukan pemerintah dan penyelidikan pro-justisia Komnas HAM atas sejumlah peristiwa pada masa lalu, yang menyimpulkan terjadinya pelanggaran HAM berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan atau crimes against humanity.
“Jadi, pelanggaran HAM yang berat menurut hukum nasional bukan hanya genosida dan pembersihan etnis,” kata Usman kepada wartawan, Selasa (22/10).
Tak hanya itu, pernyataan Yusril pun tidak dibenarkan oleh Komnas HAM yang justru sejak lama telah menyimpulkan bahwa peristiwa 98 termasuk pada pelanggaran HAM berat.
“Pertama terkait dengan pernyataan Pak Yusril, saya ingin menegaskan bahwa Komnas HAM sudah melakukan penyelidikan terhadap peristiwa kerusuhan Mei 98 pada tahun 2003, hasil penyelidikan tersebut menemukan bahwa terjadi pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Kerusuhan Mei 98,” kata Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah dikutip dari JawaPos.com, Selasa (22/10/2024). (807)