Para petugas lapangan bersama pengurus Desa Serangn di lokasi pengukuran yang batal dilakukan.
DENPASAR | patrolipost.com – Klaim PT Bali Turtle Island Development (BTID) yang “merasa” memiliki tanah yang dibangun jalan dilahan yang secara hukum agraria sah dimiliki Advokat kondang Siti Sapurah atau akrab disapa Ipung, namun PT Bali Turtle Island Development (BTID) belum mampu menunjukkan sertifikat kepemilikan lahan yang diklaim miliknya. Hal itu terungkap dari apa yang disampaikan General Manager PT BTID, Made Sumantara, yang dihubungi melalui selulernya, Jumat (25/2/2022). Justru Sumantara menyatakan kepemilikan itu ditandai dengan adanya SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI nomor SK.480/Menlhk-Setjen/2015.
Hal ini juga terungkap saat sejumlah warga dan pengurus Desa Serangan bersama pihak Polhut Tahura, Petugas Ukur BPN Denpasar disaksikan petugas kepolisian dan TNI meninjau lokasi lahan rencana pengukuran tanah yang dimiliki Siti Sapurah (Ipung).
Ditemui dilokasi rencana pengukuran tanah, Kasatgas Polhut Tahura, Agus Santoso menyatakan tanah tersebut bukan kewenangan Dinas Kehutanan. Pihaknya tak punya kapasitas menangani tanah di luar kawasan hutan.
“Baik itu peruntukan, ataupun status. Kita tidak punya kepentingan dan yang menjadi kepentingan kita adalah di mana dan bagaimana menunjukkan batasan hutan kita. Mana kala ada tanah batasan kawasan hutan yang dimohonkan untuk disertifikatkan, dimohonkan kepemilikan hak. Kita turun ambil koordinat, bikin berita acara. Produk di kita membuat surat keterangan Kepala Kantor Tahura untuk menyatakan itu masuk kawasan hutan atau tidak,” kata Agus.
Menurut Agus, dahulu ada namanya pelepasan kawasan hutan untuk kepentingan pengembangan pariwisata dengan BTID. Ia mengakui memiliki bukti dokumen tersebut.
“Berhubung ini sangat jauh dari kawasan hutan kita, kita tidak dalam kapasitas sebetulnya. Yang jelas di sini sudah bukan kawasan hutan. Biar konstruksinya jelas ini,” tukasnya.
Masih dilokasi lahan tersebut, Bendahara Desa Adat Serangan Nyoman Kemu Antara menegaskan berdasarkan data pipil dengan data sertifikat atas nama Maesarah, ada tanah tak bertuan secara sertifikat di dalam pipil itu luasnya 110 are atau 1,1 hektar. Sementara yang disertifikatkan, baru 94 are sehingga ada kelebihan tanah yang belum bertuan.
“Setelah dibandingkan peta okupasi yang diserahkan oleh BTID ke desa melalui tanah kehutanan tersebut, itu sudah jelas, patok atau garis dari peta okupasi. Sehingga pihak desa berkordinasi dengan ahli waris Maesarah dalam hal ini Ibu Sapurah (Ipung) berkordinasi dengan desa adat untuk melakukan proses tanah terhadap tanah di luar 94 are. Hal itu sudah berjalan sejak lama melibatkan BPN, karena kami di desa tidak mau mengambil tanah di luar hak orang lain,” terangnya.
Dalam kesempatan ini, Petugas Ukur BPN Denpasar, Ali Nur Hamid menyatakan pihaknya hanya diminta untuk mendampingi Dinas Kehutanan.
“Pihak dari Kehutanan sendiri menyatakan secara batas wilayah bukan merupakan kawasan hutan. Dinas Kehutanan sendiri menyatakan secara kepemilikan tidak masuk kawasan kehutanan. Otomatis ya selesai,” pungkasnya.
Seperti diketahui, sebelumnya Ipung meradang dan menantang PT Bali Turtle Island Development (BTID) adu data dan bukti lantaran tanahnya diklaim secara sepihak, Advokat kondang Siti Sapurah yang akrab disapa Ipung menegaskan akan segera menutup jalan yang dibangun oleh BTID di atas lahan seluas 7 are miliknya di kawasan Desa Serangan, Denpasar Selatan.
Langkah tegas Ipung itu dilakukan setelah BTID mencaplok tanah miliknya untuk jalan. Ipung yang merasa dizolimi dan menjadi korban mafia tanah ini akan menuntut tanahnya yang dicaplok BTID secara sepihak dipakai untuk jalan tanpa ada ijin darinya selaku pemilik tanah yang sah secara hukum.
“BTID mencaplok tanah saya tanpa pemberitahuan. Anda (BTID) sudah mencaplok tanah saya seluas 700 meter persegi menjadi jalan, itu ada konfirmasi nggak ke saya, Anda bayar nggak kompensasinya. Kok bisa membuat jalan belok mengambil tanah saya. Saya akan tuntut itu jalan,” kata Ipung dengan dana tinggi dalam keterangannya persnya kepada awak media di Kantor Advokat dan Mediator Siti Sapurah & Rekan, di Jalan Pulau Buton Nomor 40 Denpasar, Jumat (25/2/2022).
“Saya akan tutup itu jalan karena hal itu areal tanah saya. Jalan itu akan saya tutup karena tidak ada kompensasi ke saya. Silahkan lakukan tindakan apapun ke saya, saya akan ladeni. BTID hadapi saya jika kalian punya data. Siapapun Anda, saya akan hadapi kalian semua,” tegas pengacara pemberani yang dikenal getol membela kaum perempuan dan anak-anak ini.
Ipung tidak melakukan upaya hukum baik seperti gugatan atas persoalan tersebut, Ipung menyatakan tidak perlu mengambil tindakan hukum lantaran itu adalah tanahnya sendiri dan dia berhak untuk menutupnya.
“Saya tidak melakukan gugatan hukum karena dia tidak menempati fisik tanah saya, kecuali dia membangun kantor atau bangunan lain di tanah saya baru saya gugat,” ucap Ipung yang dikenal suka membantu anak-anak terlantar dan ditinggal orang tuanya.
Ipung menilai tidak masuk akal pernyataan BTID bahwa tanah yang dibangun jalan berdasarkan SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI nomor SK.480/Menlhk-Setjen/2015. Bagi Ipung, jika mengacu pada SK tahun 2015 sedangkan dirinya menguasai tanah tahun 1958 kemudian mengeksekusi tanah tanggal 3 Januari 2017, nah waktu itu BTID kemana.
“Anda (BTID) kemana waktu itu? Apakah Anda tidur? Saat tanah saya ratakan, saya bawa alat berat 10, dan 30 truk besar, saya membawa orang 150, apakah tidak dengar? Alat berat saya nangkring di depan kantor BTID apakah tidak lihat? Kalau kalian punya tanah di sana kenapa kalian diam saat saya eksekusi tanah itu? sentil Ipung dengan nada tinggi.
Ipung pun kembali menceritakan, sebelumnya orangtuanya yakni almarhum Daeng Abdul Kadir membeli dua bidang tanah yang terletak di Kampung Bugis, Serangan pada tahun 1958. Tanah tersebut dibeli almarhum ayahnya dari almarhum Sikin, ahli waris dari H. Abdurahman yang merupakan mantan Kepala Desa Serangan beberapa waktu lampau.
Menurutnya, dua bidang tanah yang dibeli yaitu dengan pipil nomor 2, persil nomor 15c memiliki luas 0,995 hektar, kemudian tanah dengan pipil nomor 2, persil nomor 15a memiliki luas 1,12 hektar. Dalam perjalanan, ada sejumlah pihak mencoba menguasai lahan itu dengan dalih bahwa tanah tersebut diperoleh secara hibah dari almarhum Cokorda Pemecutan.
Selanjutnya berbekal dokumen kepemilikan yang sah, Siti Sapurah (Ipung) selaku ahli waris kemudian melakukan eksekusi lahan yang telah dikuasai sejumlah oknum masyarakat pada 2017 silam. Setelah dieksekusi, tanah yang sebagian besar telah diisi bangunan rumah oleh para oknum tersebut kemudian dia ratakan. Atas hal itulah, Ipung meyakini jika klaim sepihak PT BTID berdasarkan SK.480/Menlhk-Setjen/2015 atas tanah miliknya sangat tidak masuk akal.
“Saya berani karena saya punya bukti-bukti. Saya tidak takut dengan siapapun, kalau kalian (BTID) punya data hadapi saya. Daeng Abdul Kadir membeli tanah pada tahun 1958, sementara BTID mengklaim berdasarkan SK tahun 2015. BTID sendiri baru masuk dan melakukan reklamasi Desa Serangan pada tahun 1996. Masuk akal nggak tiba-tiba BTID mengklaim bahwa tanah eks eksekusi milik mereka,” tegas Ipung kembali.
Anehnya, lanjut Ipung, setelah tanah itu dieksekusi kini muncul klaim sepihak dari PT BTID bahwa tanah itu adalah milik PT BTID. Bahkan tanpa malu-malu, BTID menyurati Desa Adat Serangan bahwa ada tanah BTID di eks tanah eksekusi.
“Saya tanya pada Desa Adat Serangan, apa yang dijadikan dasar oleh BTID mengatakan tanah di eks tanah eksekusi adalah tanah dia,” tanya Ipung.
Ipung secara detail menjelaskan bahwa BTID baru masuk ke Desa Serangan melakukan reklamasi tahun 1996, dan tahun 1998 baru ada jembatan dari Denpasar ke Serangan.
“Apakah masuk akal BTID mengklaim tiba-tiba ada tanah dia di tanah eks eksekusi? Bukankah dalam hukum agraria siapa yang menguasai tanah lebih dulu itu dia adalah pemiliknya,” sentil Ipung.
Ia mengaku heran dan tidak habis pikir kenapa tiba-tiba BTID sekarang mengklaim punya tanah di eks tanah eksekusi. Ia pun menantang BTID untuk menunjukkan bukti-bukti kepemilikan tanah ini.
“Saya tantang kalian semua, saya tidak takut dengan siapapun. Saya adalah anaknya Daeng Abdul Kadir. Kalau kalian punya data temui saya, berikan saya dokumen, kita debat disini. Kalau tidak Anda (BTID) perlu belajar hukum lagi,” tantang Ipung.
Berangnya Ipung kepada PT BTID bukan tanpa sebab, pasalnya, General Manager BTID, Made Sumantara yang dihubungi melalui selulernya sebelumnya ketika disinggung “merasa” memiliki lahan tersebut, justru tegas dikatakan bahwa lahan itu milik BTID.
“Bukan ‘merasa’ tapi itu memang lahan milik BTID,” jawabnya menegaskan.
Anehnya ketika ditanyakan berapa luasan lahannya, Sumantara tiba-tiba lupa. Lantas ia berkelit jika hal itu bukan bidangnya. Padahal jika dilihat dari posisinya Sumantara selaku General Manager PT BTID, semestinya mengetahui hal itu. Bahkan terkait sertifikat sebagai bukti kepemilikan lahan, ia juga mengaku sepengetahuannya sertifikat itu ada. Namun ketika ditanyakan, kembali ia berkelit, bukan bidangnya.
“Bidang saya tidak disana. Ada bidang lain yang menangani. Saya hanya melakukan komunikasi dengan masyarakat, partner kita, bukan musuh,” dalihnya mengakhiri. (wie)