Dari proses mediasi itu, ada sebuah perkembangan positif terjadi yaitu adanya titik temu yakni eksekusi akan dilaksanakan dan lebih lanjut krama diharapkan kembali bersatu di bawah naungan Desa Adat Pakudui. Kondisi ini berbeda dengan pertemuan sebelumnya yang selalu diwarnai ketegangan.
Mediasi yang berlangsung di halaman belakang Kantor Bupati ini diinisiasi oleh Mahayastra. Pelaksanaannya berjalan lancar. Bupati yang didampingi Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (FKPD) dan instansi terkait memaparkan hasil putusan pengadilan yang mengisyaratkan agar krama Pakudui bersatu kembali.
Terlebih, faktanya masih ada yang belum selesai. Karena itu, dirinya bertekad menyelesaikan persoalan tersebut. Termasuk pula memediasi kesepakatan mengenai desa adat dan aset yang ada. “Saya tidak ingin dalam pemerintahan saya ada persoalan adat apalagi ada eksekusi bangunan,” katanya.
Ia menilai, secara hukum kedua desa adat dipaksa untuk kembali bersatu, sehingga kedua pihak harus saling mengalah dan tidak ada menang-menangan. Mengenai konflik internal antar krama Desa Adat Pakudui, Bupati meminta majelis adat dan instansi terkait untuk melaksanakan pendampingan.
Gayung bersambut. Krama pun menerima saran bupati agar eksekusi dilakukan. Kemudian, penyelesaian konflik antara kedua belah pihak yang sudah berlangsung lebih dari sepuluh tahun itu perlu segera dilakukan. Setelah disepakati, Bupati akan mencarikan hari yang baik untuk pelaksanaan eksekusi.
Menghindari pembahasan yang membias, dengan langkah cepat dan tepat, Mahayastra mengajak keduabelah pihak makan siang bersama. “Setelah proses eksekusi, aset tersebut jadi milik bersama. Persoalan bagaimana nanti pembagian atau pengelolaannya, saya siap jadi mediator,” katanya.
Ia memastikan akan berada di sisi netral, tidak di salah satu pihak. Di sela makan bersama, Bendesa Pakraman Pakudui, Bendesa Adat Pakudui, I Ketut Karma Wijaya, menegaskan, jika kramanya hanya menuntut agar eksekusi. Mengenai masalah internal antar krama, akan dibahas lebih lanjut.
“Yang jelas, keberadaan lahan yang disengketakan ini harus jalas. Sebab sebagiannya sudah dikuasai pihak lain. Dijadikan tempat usaha pariwsiata seperti restoran dan lainnya,” kata dia. Pakudui Kawan (dulunya berjumlah 114 KK) dan Pakudui Kangin (43 KK) sebelumnya di bawah Desa Adat Pakudui.
Dalam sepuluh tahun terakhir, kedua pihak terlibat pertikaian menyusul masalah internal. Meliputi status Pura berikut tanah adat, pengenaan sanksi adat kepada warga, hingga konflik pemilihan bendesa adat. Konflik membuat kedua belah memiliki pengurus adat dan saling klaim sebagai yang sah. (ata)