Dari Ajang FBJ: Ketika Musik Gamelan Mengajak Berpikir

DENPASAR | patrolipost.com – Komposer I Wayan Gde Yudane mengajak penonton di Wantilan Taman Budaya ‘berpikir’ ketika menikmati gemelan. Keindahan dan harmonisasi gemelan berubah menjadi bunyi-bunyian bernuansa kontemporer dan sains.

Setidaknya hal itu tersaji dari rOrAs Ensemble yang menampilkan 2 gamelan asli Tenganan Karangasem dan 3 gamelan bernuansa Sains dalam ajang Festival Seni Bali Jani (SBJ) 2019, di Wantilan Taman Budaya Provinsi Bali, Kamis, (31/10).    

I Wayan Gde Yudane komposer bereputasi internasional ini memaknai kontemporer sebagai usaha mengeksplor alat musik gamelan sehingga menciptakan karya baru diatas yang sudah lazim. Menurutnya, cara berpikir kacau jika ada yang menerjemahkan kontemporer sebagai karya kekinian, seolah memberi kesan mendiskreditkan gamelan ‘kampungan’ kalau tidak ditambah gitar, keyboard dan jimbe.

Malam itu Yudane mencoba mengetengahkan gamelan kontemporer yang dibawakan oleh rOrAs Ensemble Kota Denpasar, menampilkan 2 gamelan dengan judul Nyangjangan Saih Puja Semara dan Sekar Gadung Saih Sadi. Kemudian dilanjutkan dengan menyajikan 3 gamelan baru bernuansa Sains. Gamelan pertama berjudul Psychoacoustic yang mengarah tentang persepsi dan audiologi suara terhadap respon manusia memahami berbagai suara.

Gamelan baru ini mengeksplorasi teknik pergeseran fase bertahap dalam konteks musik yang dikomposisikan instrumen. Beberapa perubahan dalam frasa dan timbre yang dihasilkan dari pentahapan ini bersifat psikoakustik yang menyadarkan pendengar dengan satu pola dalam musik secara bersamaan dan keseluruhan tekstur suara berlangsung.

Gamelan kedua berjudul Parametric menyampaikan pemikiran algoritmik dengan ekspresi parameter dan seperangkat aturan logis yang bersama-sama mendefinisikan, menyandikan, dan memperjelas hubungan antara maksud dan respons. Sehingga memberikan deskripsi struktural yang benar.

Gamelan terakhir berjudul Word in Iron lebih mempertimbangkan kompleksitas pola temporal, dengan mengambil jumlah maksimum dari pola akar, di atas semua level struktural. Memberi tujuan untuk membangun ukuran kompleksitas tingkat tinggi, sesuai dengan gagasan manusia tentang subjektif kompleksitas.

“Gamelan ini tidak ada tujuan menghibur sebenarnya, tapi untuk mengajak berpikir. Dua gamelan pertama itu gamelan asli dari Tenganan yang kita rasa sangat nyaman. Nah mulai gamelan 3 hingga terakhir, mungkin terdengar beda karena itu musik baru. Tapi paling tidak, ada satu hal yang bisa masuk ke dalam penontonnya, yang dianggap menarik. Itu cukup bagi saya,” tutur Yudane.

Proses kreatif untuk menggarap gamelan baru ini tidak terlalu lama, sebab sudah didukung oleh para pemain gamelan yang telah memahami dan bisa membaca not.

“Proses kreatifnya tidak terlalu lama, karena pemain gamelan (musisian) di sini readingnya bagus. Jadi saya menulis, mereka membaca not, dan langsung bermain. Jadi tidak seperti cara tradisional yang latihan menggunakan panggul,” ujarnya.

Melalui gamelan kontemporer ini, Yudane mengajak penonton untuk berpikir. Meski berbeda karena dianggap musik baru.

“Selama ini kontemporer kesannya gradag-grudug (bergerak kesana-kemari tanpa kesejelasan) gitu. Kontemporer itu adalah suatu capaian yang maju di atas yang sudah lazim,” tandasnya. (cr02)

Pos terkait