JAKARTA | patrolipost.com – Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Hinca Pandjaitan mempertanyakan penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap kasus mega korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Penerbitan SP3 oleh KPK ini menghentikan upaya penyidikan secara lebih lanjut terhadap mega skandal korupsi dengan tersangka pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Sjamsul Nursalim, yang merugikan negara senilai Rp 4,58 triliun.
Hinca mengatakan, secara peraturan perundang-undangan, KPK memang memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan tersebut. Namun, Komisi III DPR RI dan publik perlu mempertanyakan apa dasar KPK yang berani menghentikan penyidikan kasus korupsi yang merugikan negara hingga 4,58 triliun tersebut.
“SP3 tersebut memang diakomodir oleh UU Nomor 19 Tahun 2019. Agak mengejutkan memang bagi publik, bahwa kasus pertama yang dilakukan SP3 oleh KPK adalah kasus BLBI yang notabene adalah mega skandal korupsi. Ini yang harus kami (Komisi III) kejar,” kata Hinca dalam keterangannya, Minggu (4/4).
Politisi Demokrat ini mengakui, pihaknya sering kali memberikan kritik terhadap upaya penegakkan hukum pemberantasan korupsi. Salah satunya terkait dengan langkah KPK yang telah menghentikan upaya penyelidikan sejumlah kasus korupsi beberapa waktu lalu.
Penerbitan SP3 terhadap mega skandal BLBI, sangat terbuka kemungkinan adanya keputusan yang sama untuk kasus korupsi yang telah merugikan keuangan negara selama ini. Hinca mengklaim, Demokrat akan melawan jika KPK menerbitkan SP3 lagi untuk perkara korupsi lainnya.
“Satu bulan yang lalu, sudah banyak kritik yang mendarat ke dalam tubuh KPK menyoal 36 kasus yang dihentikan penyelidikannya. Namun untuk penghentian penyidikan, KPK baru melakukannya satu kali, yakni terhadap salah satu kasus besar di Indonesia,” ujar Hinca.
“Apakah ini akan jadi preseden bagi KPK untuk menghentikan mega skandal lainnya? Tentu saya dan teman-teman dari fraksi Demokrat akan berdiri melawannya jika arahnya telah menuju kesana,” tegas Hinca.
Hinca menilai, adanya penerbitan SP3 terhadap mega skandar BLBI menjadi momentum yang tepat untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja KPK. Menurut Hinca, begitu banyak hal yang menjadi bahan evaluasi bagi publik berkaitan dengan kinerja KPK.
Hinca menambahkan, sebagai anggota Komisi III, pihaknya pasti melaksanakan pengawasan secara terukur terhadap kinerja KPK. Hal ini penting agar agenda pemberantasan korupsi tidak tergadaikan oleh kepentingan satu dua orang yang justru merugikan keuangan negara.
“Saya akan selalu menjalankan mekanisme pengawasan yang terukur dan akan selalu memastikan bahwa segala keputusan yang dikeluarkan oleh KPK telah melalui prosedur yang tidak bertentangan dengan hukum positif dan lebih jauh dari itu, tidak bertentangan pula dengan keadilan,” ungkapnya.
Hinca meminta, KPK harus segera memberikan penjelasan secara tuntas kepada publik mengenai penerbitan SP3 tersebut. Karena penjelasan KPK sangat dibutuhkan untuk memperjelas dan menjawab kritik masyarakat terhadap KPK.
“Secara pribadi, saya memang menghendaki agar Komisioner KPK dan Dewas KPK dipanggil secepatnya oleh Komisi 3. Lalu lintas argumentasi dan opini dari publik sudah semakin menggelembung dan jumlahnya sangat banyak, oleh kebijakan yang diambil KPK dalam mengeluarkan SP3 tersebut. Keterangan dari KPK akan sangat dibutuhkan untuk meredakan asumsi liar dari publik dan ini juga untuk memastikan bahwa UU 19 Tahun 2019 bukan dipakai sebagai alat pemuas suatu kelompok, tapi pelumas keadilan bagi keseluruhan masyarakat dan bangsa ini,” pungkas Hinca.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyampaikan, alasan pihaknya menerbitkan SP3 untuk Sjamsul Nursalim dan Ijtih Nursalim berdasarkan putusan Peninjauan Kembali (PK) mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT). Putusan PK itu menguatkan putusan kasasi yang dijatuhkan MA terhadap Syafruddin.
“Putusan MA RI atas kasasi SAT Nomor: 1555 K/Pid.Sus/2019 tanggal 9 Juli 2019 dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung yang menyatakan bahwa perbuatan terdakwa bukan merupakan tindak pidana dan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging),” kata Alex membacakan kutipan putusan kasasi Syafruddin di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (1/2).
Perkara yang menjerat Syafruddin dalam kasus BLBI yang dinilai merugikan keuangan negara sebesar Rp 4,58 triliun merupakan acuan untuk menjerat Sjamsul Nursalim dan istrinya Ijtih Nursalim. Tetapi jeratan hukum terhadap Syafruddin dimentahkan pada tingkat kasasi Mahkamah Agung.
Padahal oleh pengadilan tingkat pertama pada Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Syafruddin divonis 13 tahun pidana penjara dan denda Rp 700 juta. Putusan itu dibacakan pada 24 September 2018.
Alex mengakui, KPK sempat mengajukan upaya hukum PK terhadap putusan Syafruddin. Tetapi putusan itu dimentahkan dan menguatkan putusan tingkat kasasi.
Menurutnya, KPK tidak mempunyai upaya hukum lain untuk menindaklanjuti perkara BLBI. Sehingga meminta pendapat dari ahli, sebagai upaya menindaklanjuti perkara BLBI.
“Keterangan ahli hukum pidana yang pada pokoknya disimpulkan bahwa tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh KPK,” ujar Alex.
Terlebih Sjamsul Nursalim dan istrinya, Ijtih Nursalim bukan merupakan unsur penyelenggara negara atau keduanya merupakan pihak swasta. Alasan ini sehingga KPK menerbitkan SP3.
“KPK berkesimpulan syarat adanya perbuatan penyelenggara negara dalam perkara tersebut tidak terpenuhi sedangkan tersangka Sjamsul Nursalim dan Ijtih Nursalim berkapasitas sebagai orang yang turut serta melakukan perbuatan bersama-sama dengan Syafruddin Arsyad Temenggung selaku penyelenggara negara, maka KPK memutuskan untuk menghentikan penyidikan perkara Sjamsul Nursalim dan Ijtih Nursalim,” pungkas Alex. (305/jpc)