LABUAN BAJO | patrolipost.com – Kepala Desa Rehak, Fabianus Jemahun membantah tudingan warganya terkait tidak transparannya penggunaan dana Anggaran Pembangunan Desa (APBDes) Rehak. Dia berkilah, setiap tahun ada rapat musyawarah, tapi memang tidak melibatkan semua warga desa.
“Terkait tudingan tidak transparansi itu, setiap tahun ada rapat kok Pak. Sudah itu setiap rapat ada baliho yang ditempel di desa. Masyarakat dilibatkan dalam artian bukan semua masyarakat, tapi ada tokoh masyarakat, ada kepala dusun, Ketua RT. Rapat penentuan ini bukan hanya desa saja, tapi kecamatan juga hadir termasuk pendamping kecamatan,” ujarnya.
Fabianus merincikan, terkait pembangunan TPT di Dusun Wae Ri’i tersebut penetapannya telah dilakukan bulan Maret dan pembangunan dilakukan bulan Desember tahun 2021. Sementara pembangunan TPT pada lokasi lainnya ia mengaku lupa.
“Saya bingung masyarakat ini, itu pembangunan TPT bulan Desember 2021, itu sekitar 17 meter di atas jembatan, itu penetapannya bulan Maret 2021, anggarannya sekitar Rp 20 juta lebih sementara TPT yang di Dusun Wae Ri’i itu saya lupa anggarannya. Mereka bilang itu kan kerja sebelum penetapan, itu tidak benar. Penetapan itu bulan Maret, kerja langsung di bulan Desember,” bantahnya.
Terkait BLT, Fabianus menjelaskan adapun pengurangan yang dilakukan dikarenakan ketentuan setiap penerima wajib memiliki Kartu Keluarga.
“Untuk BLT di tahun 2022 ada 121 penerima. Tahun 2020 ada 120 penerima dan tahun 2019 itu saya tidak ingat. Soal yang dikurangi itu karena tidak memiliki Kartu Keluarga, aturan baru mewajibkan semua penerima BLT harus ada Kartu Keluarga, di tahun sebelumnya semua terima saja, jadinya ada pendobelan. Jadi karena dia sudah masuk dalam KK anaknya maka yang dapat cuman anaknya, kalau sebelumnya anaknya dapat dia sebagai janda juga dapat, jadi dobel,” jelasnya.
Fabianus pun menyampaikan terkait penetapan penerima BLT memang tidak dilakukan melalui musyawarah. Adapun data penerima BLT merujuk pada nama – nama yang tidak terdata sebagai penerima PKH dan sembako.
“Kan memang tidak ada rapat untuk menentukan penerima BLT, Di sini kan ada pendamping desa untuk PKH dan sembako sehingga yang ditetapkan oleh desa itu adalah data yang mereka miliki. Yang mendapatkan bantuan sembako dan PKH itu yang tidak dapat, selain itu semua dapat BLT,” ujarnya.
Namun Fabianus pun membenarkan terkait warga penerima berstatus janda yang telah pindah tempat tinggal ke desa lain, namun ternyata masih terdaftar sebagai penerima di Desa Rehak. Ia menjelaskan dana BLT tersebut akan dikembalikan ke negara.
“Memang benar ada janda sudah pindah maka dananya nanti itu dikembalikan ke negara. Namanya memang terdaftar sebagai penerima, tapi uangnya belum dikasih dan uangnya akan kita kembalikan ke negara,” ucapnya.
Fabianus pun membantah kisaran besaran anggaran yang dipakai untuk proyek Deker SMP Manges dan pembukaan jalan dari Manges menuju Naru.
“Ada dekernya tapi anggarannya tidak seperti itu, ada tim teknis yang menganggarkan semua itu dan kita kerja berdasarkan itu, saya lupa anggarannya,” timpalnya.
“Itu tidak benar. Jadi memang pada saat kerja sampai di tengah itu ada batu dan tidak bisa diatasi oleh eksavator makanya waktu itu runding dengan mereka yang di Manges itu, karena sisanya tinggal beberapa meter saja dan mereka bilang gusur di dekat kampung saja. Anggarannya saya lupa, itu panjangnya 3 kilometer, tapi yang baru bisa dikerjakan hanya 2 kilometer lebih sisanya itu sekitar 200 meter yang dialihkan ke jalan gang dalam kampung Manges,” jelasnya.
Selain itu terkait proyek lantainisasi, Fabianus menyebutkan apa yang disampaikan oleh warganya adalah omong kosong belaka.
“Memang ada program lantainisasi, untuk rumah yang belum lantai itu dapat 2 truk pasir dan 12 sak semen. Warga yang bilang cuman dapat empat sak semen itu omong kosong. Saya lupa ada berapa rumah karena banyak pada saat itu,” tuturnya.
Terkait Program WC Sehat, Fabianus menjelaskan bahwa program WC Sehat di tahun 2018 bagi setiap rumah tersebut merupakan proyek yang dikerjakan oleh LSM Dian Desa. Ia pun mengaku tidak mengetahui dengan detail terkait proses pengadaan sejumlah material kepada warga yang dinilai berbeda beda.
“Yang kerja waktu itu bukan saya, yang kerja itu ada LSM namanya Dian Desa. Itu langsung dipimpin kerjanya sampai selesai, lobang dan tutupannya, ada namanya Sanitasi Total Berbasis Masyarakat jadi mereka yang merancang itu. Dari rumah ke rumah itu tidak ada yang kerja sendiri,” urainya.
Terkait pengadaan bibit jahe, Fabianus menyebutkan pada tahun 2021, Pemerintah Desa Rehak telah menetapkan anggaran sebesar Rp 100 juta untuk pengadaan bibit jahe sebanyak 4 ton. Fabianus membantah jika bibit jahe yang dibagikan dalam kondisi busuk.
“Jahe didistribusikan tahun 2021. Tanam jahe ini bulan berapa saja, tidak ada yang sisa jahe ini semuanya diterima, jahe berkualitas kalau digali dan langsung dibagi. Berbeda kalau jahenya disimpan dulu, mengering dan baru dibagi. Inikan setelah digali dan ditimbang langsung dibagi. Penerima itu 430 KK,” sebutnya.
Fabianus menambahkan, ada pun sumber bibit Jahe merupakan bibit jahe miliknya pribadi dan sebagian kecil dibeli dari masyarakat. Namun, Fabianus mengakui, dari total alokasi 4 ton jahe tersebut, hanya 2,5 ton yang dibagikan ke warga dengan masing masing KK sebanyak 5 kg.
Saat disinggung terkait dugaan warga bahwa total pengadaan jahe tersebut tidak mencapai 4 ton, Fabianus enggan menjawab.
“Sumber bibit jahenya itu dari masyarakat, ada dari saya dan ada juga dari masyarakat yang lain. Memang pada waktu itu yang saya distribusikan hanya 2,5 ton saja,” ungkapnya.
Terkait tudingan tidak transparan dalam mengelola dana desa ini, Fabianus menyebutkan semuanya telah disampaikan ke publik melalui baliho yang terpasang di kantor desa.
“Saya kira APBDes itu sudah terpampang di baliho, kan tinggal mereka foto, paling yang kita sampaikan rahasia negara itu soal SPJ. Saya jawab SPJ itu tidak bisa diketahui oleh masyarakat hanya kami saja yang tau SPJ itu,” ujarnya. (334)