Oleh : Izarman *)
SIAPA saja saat ini sedang tergagap-gagap dihantam Coronavirus Disease (Covid-19), makhluk halus yang pertama kali muncul di Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Orang kaya bingung mau menghabiskan uangnya karena lebih dari separo usaha hiburan dan jasa-jasa ‘kenakalan’ tutup. Orang miskin kelimpungan memutar otak memikirkan bagaimana cara mendapatkan uang agar dapur tetap ngepul. Pejabat harus kerja keras merasionalisasi anggaran serta me-rescedule ulang proyek-proyek yang seharusnya sudah jalan (sehingga fee batal mengalir ke rekening pribadi). Rakyat biasa harus menyesuaikan diri dengan berbagai aturan di saat hilangnya penghasilan karena tiarapnya aktivitas ekonomi.
Semua sendi kehidupan juga sedang gagap. Sebab, virus yang sejatinya hanya tentang penyakit (bidang kesehatan), tapi menulari ke semua bidang yang lain: ekonomi, sosial, hankam, hukum, politik, budaya dan agama. Semua bidang itu berkelindan satu sama lain, sehingga kebijakan setiap bidang menyikapi virus ini mempengaruhi atau setidaknya bersentuhan dengan ranah bidang lain.
Kaitan nyata bisa dilihat dari dirumahkannya (bahkan di-PHK) ribuan pekerja oleh perusahaan yang tidak sanggup membayar gaji karena penjualan mandeg sehingga produksi berhenti. Ribuan orang menjadi pengangguran sehingga bermunculan KK miskin baru—yang tidak saja mempengaruhi angka demografi—tapi juga persoalan sosial baru yang membutuhkan rencana dan strategi baru pula untuk pengentasannya.
Bagi Provinsi Bali yang mengandalkan pendapatan dari sektor pariwisata, dampak Covid-19 lebih dahsyat dari Bom Bali I dan II maupun letusan Gunung Agung. Virus Corona menghantam langsung ke jantung pariwisata sehingga nyaris tak berdenyut.
Ketika korban jiwa berjatuhan di berbagai negara, maka lockdown menjadi pilihan yang diambil beberapa negara Eropa, Australia dan Asia. Kebijakan ini diikuti dengan larangan penerbangan ke negara-negara tertentu. Ketika sebuah negara memberlakukan lockdown, dan larangan penerbangan ke negara lain, maka dampaknya terhadap pariwisata Bali, tidak lagi setara dengan travel advice atau travel warning. Kebijakan lockdown dan larangan penerbangan di negara-negara belahan dunia adalah lonceng kematian bagi pariwisata Bali.
Kebijakan lockdown ini pun digaungkan banyak pihak kepada pemerintah Indonesia manakala korban Covid-19 mulai berjatuhan sejak akhir Februari. Desakan itu semakin menguat ketika korban meninggal memasuki angka ratusan, bahkan ada yang menuding pemerintah lamban dan tidak peduli dengan nyawa warga negaranya. Para pendukung lockdown mengambil contoh-contoh negara yang sukses seperti Vietnam, Korea, bahkan Malaysia, tapi mengabaikan dampak buruk berupa kerusuhan rasial dan penjarahan seperti yang terjadi India, Italia dan Paris. Mereka juga mengabaikan lockdown Amerika Serikat yang begitu ketat, namun setiap hari rakyatnya yang di-lockdown tewas mencapai ratusan bahkan ribuan orang.
Musibah Covid-19 mendadak saja sudah ada di depan mata. Seperti binatang buas yang siap menerkam mangsanya. Siapa pun akan tergagap-gagap dan terbata-bata menghadapi situasi ini. Dan itulah yang kini terjadi di Indonesia. Langkah yang dilakukan pemerintah jadi serba salah serta terkesan coba-coba. Benar, semuanya coba-coba, sebab memang belum pernah pemerintah Indonesia mengalami musibah seperti ini sebelumnya. Apapun langkah yang diambil bisa dipastikan ada kelemahannya. Apalagi di mata orang-orang yang selama ini meragukan legitimasi pemerintah karena berada di oposisi dalam Pilpres 2019 lalu.
Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa kota yang sudah masuk kategori zona merah, dianggap pemerintah Indonesia yang terbaik dilakukan saat ini. Konsekuensinya tentu saja ada, bahkan dapat menjadi bencana kalau tidak berhati-hati melaksanakannya. PSBB merupakan langkah lunak dari pilihan darurat sipil atau darurat militer.
PSBB ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 21 Tahun 2020 yang diteken Presiden Jokowi, pada 31 Maret 2020 lalu. Sebagai jabarannya Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Nomor 9 Tahun 2020, yang mengatur sekaligus merincikan PP tersebut, 3 April 2020.
Pasal 1 PP Nomor 21 Tahun 2020 ini menjelaskan bahwa Pembatasan Sosial Berskala Besar merupakan pembatasan kegiatan tertentu dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Sedangkan PMK Nomor 9 Tahun 2020 pasal 2 berbunyi: bahwa untuk dapat ditetapkan sebagai PSBB, maka suatu wilayah provinsi/kabupaten/kota harus memenuhi dua kriteria: Pertama, jumlah kasus atau kematian akibat penyakit meningkat dan menyebar secara signifikan secara cepat ke beberapa wilayah. Kedua, wilayah yang terdapat penyakit juga memiliki kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa yang terdapat di wilayah atau negara lain.
Bagaimana Bali?
Apakah dengan 152 kasus positif Covid-19, 4 korban meninggal, dan ribuan pekerja migran Indonesia (PMI) yang berdatangan dari luar negeri (data per 22 April 2020), Provinsi Bali belum memenuhi kriteria diterapkan PSBB? Apakah Pemprov Bali masih menunggu korban lebih banyak lagi?
Sampai sejauh ini, Pemprov Bali dan juga pemkab/kota tampaknya belum tergerak untuk mengajukan usulan PSBB kepada Menkes RI. Dewa Made Indra selaku Ketua Harian Gugus Tugas Penanggulangan Covid-19 Provinsi Bali berulang kali menegaskan, “Pemprov Bali belum memandang perlu mengambil kebijakan PSBB”. Alasannya, jika dilihat dari angka positif Covid-19 sebesar 82, 67 persen berasal dari imported case, maka hal ini tidak bisa dijawab dan diselesaikan dengan PSPB.
Menurutnya, yang bisa diselesaikan dengan PSPB adalah kasus transmisi lokal (17,33 persen). Transmisi lokal tersebut adalah angka transmisi lokal untuk Provinsi Bali, bukan ukuran satu kota /kabupaten. Maka untuk ukuran Kota Denpasar belum bisa menerapkan kebijakan PSPB. (Sebagai catatan, jumlah kasus terbesar di Bali berada di Kota Denpasar: positif : 32 orang, PDP : 22 orang, ODP : 235 orang, PMI yang dikarantina : 185 orang).
“Gugus Tugas bekerja dengan penuh strategi dan menyesuaikan dengan kebutuhan lapangan. Dari keputusan Gubernur Bali bahwa belum ada kebutuhan lapangan yang urgen untuk menerapkan PSPB,” tegasnya.
Pemerintah melalui Menteri Kesehatan menyetujui usulan beberapa kepala daerah memberlakukan PSBB untuk menghambat atau mencegah penularan virus Corona. Sebab, dengan diberlakukannya PSBB maka semua aktivitas masyarakat yang menghimpun banyak orang ditiadakan. Kebijakan ini merupakan lanjutan dari kebijakan social distancing atau psycal distancing yang mengatur jarak di area public serta imbauan stay at home. PSBB meniadakan aktivitas sekolah, perkantoran, pelayanan public, kegiatan keagamaan, kegiatan sosial dan budaya, seminar, pesta sampai larangan beroperasi transportasi umum.
Jika berpedoman kepada aturan PSBB itu, sebetulnya Provinsi Bali juga sudah melaksanakannya, sebab faktanya saat ini semua sekolah dan perguruan tinggi libur, karyawan negeri dan swasta bekerja di rumah work at home (WAF), kegiatan keagamaan dibatasi, acara-acara keramaian ditiadakan. Sejak virus ini merebak, puluhan event lokal, nasional dan internasional yang semestinya diadakan di Bali dinyatakan batal. Bahkan Pesta Kesenian Bali (PKB), acara tahunan yang sedianya dilaksanakan Juni sampai Juli 2020 mendatang sudah diputuskan Pemprov Bali ditiadakan.
Jadi, kendatipun tidak diembeli PSBB, sebetulnya masyarakat Bali sudah menjalankan imbauan “social distancing serasa PSBB”. Apalagi Pemprov Bali memberi keleluasaan diterapkan kearifan lokal yang berbasis desa adat. Beberapa banjar (desa adat) menyepakati beberapa aturan khusus yang berlaku di lingkungan desa adat untuk mencegah penyebaran Covid-19. Di antaranya memberlakukan wajib masker, pembatasan jam kunjungan dll, bahkan Nyipeng yang dilaksanakan Desa Adat Ketewel, Gianyar, Kamis (23/4/2020).
Namun dengan membiarkan status ‘mengambang’ antara imbauan social distancing, pembatasan jam operasional pasar, WAF dll dengan PSBB, maka reaksi dari masyarakat di Bali juga terkesan mengambang. Lihatlah aktivitas pasar tradisional, toko-toko modern, keramaian masih tampak seakan normal. Termasuk jalan-jalan dari pagi sampai malam masih ramai oleh pengendara –yang sebagian malah tidak menggunakan helm, bahkan masker.
Terlepas dari tuntutan kebutuhan hidup sehingga masih banyak warga terpaksa ke luar rumah, ada kesan masyarakat Bali ‘meremehkan’ virus mematikan yang belum ada obatnya ini. Kita harus akui ajakan stay at home atau di rumah saja yang digaungkan terdengar seperti ‘bercanda’ di telinga sebagian besar masyarakat Indonesia, termasuk Bali. Bagaimana mungkin di rumah saja, sementara tidak ada beras untuk dimasak?
Di sinilah pemerintah pusat sampai ke tingkat desa melalui Gugus Tugas Penanggulangan Covid-19 harus memanfaatkan dengan maksimal dan telaten anggaran tanggap darurat bencana nasional yang sudah dialokasikan. Termasuk APBD Provinsi/Kabupaten/Kota yang digeser untuk penanggulangan Covid-19 atas kesepakatan legislatif (DPRD) dengan eksekutif (pemerintah). Data ril—sekali lagi data ril—tentang warga miskin yang berhak mendapat bantuan sangat menentukan berhasil atau tidaknya kebijakan apapun yang diambil pemerintah menghadapi pandemic Covid-19 ini.
Kesimpang-siuran data ini akan menjadi pemicu masalah baru, tidak saja hilangnya kepercayaan warga negara kepada penyelenggara pemerintahan, bahkan bisa lebih buruk lagi yakni munculnya anarkisme, serta kerusuhan massal dipicu protes karena tuntutan perut (kelaparan).
Pandemi Covid-19 sudah ditetapkan sebagai bencana nasional, maka sepantasnya penanganannya dilakukan dengan standar nasional: melibatkan semua kekuatan militer, Polri dan sipil. Covid-19 mengancam nyawa warga negara, menghancurkan ekonomi, meluluhlantakkan pariwisata, merusak tatanan sosial, budaya dan tradisi. Virus ini adalah musuh bangsa dan negara, maka TNI sebagai alat pertahanan negara dengan segala fasilitas yang dimilikinya harus dikerahkan untuk melawannya.
Selain Polri sebagai institusi keamanan dalam negeri, TNI sebagai lembaga pertahanan dan keamanan negara harus lebih pro-aktif di garda terdepan. Karena pandemik ini menyangkut keamanan bangsa dan negara, TNI harus terlibat dalam semua keputusan strategis yang diambil pemerintah, serta yang terpenting lagi mengamankan kebijakan tersebut, mulai dari pusat sampai ke desa-desa.
Imbauan social distancing, stay at home, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), larangan mudik serta kebijakan apapun yang akan diambil pemerintah ke depan (termasuk oleh Gubernur Bali I Wayan Koster di Provinsi Bali) harus diikuti dengan pengawasan dan penegakan hukum yang tegas. Dalam situasi ini, peran itu tidak cukup diserahkan ke pihak Kepolisian, Satpol PP, Dishub atau Pecalang, tapi harus diback-up oleh TNI sebagai alat pertahanan negara. Sebab, pandemic Covid-19 bukan lagi sebatas gangguan kamtibmas serta keamanan dalam negeri, tapi sudah menjadi ancaman nyata terhadap negara. ***
*) Penulis adalah Pemimpin Redaksi patrolipost.com