BANDUNG | patrolipost.com – Hakim Pengadilan Tinggi (PT) Bandung menjatuhkan vonis hukuman mati kepada pemerkosa 13 santriwati, Herry Wirawan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyambut positif putusan hakim.
“Putusan ini tentunya menjadi tonggak sejarah penting untuk Indonesia, dalam memberikan efek jera hukuman maksimal, sekaligus edukasi di masyarakat,” kata Kepala Divisi Pengawas, Monitoring, dan Evaluasi KPAI, Jasra Putra, Senin (4/4/2022).
Jasra mengatakan putusan hakim juga sangat diapresiasi para korban dan keluarganya yang telah menunggu lama putusan ini. Dia berharap putusan tersebut bisa menjadi yurisprudensi hukum untuk kasus serupa.
Menurutnya, keberpihakan yang tinggi dari majelis hakim untuk para korban sangat pantas diapresiasi. Sebab, kejahatan seksual akan dihantui trauma dan penderitaan sepanjang hidupnya, yang sangat perlu diantisipasi negara.
“Putusan tersebut juga memperbaiki putusan sebelumnya, yang awalnya restitusi dibebankan ke negara, kini dibebankan kepada pelaku, dengan merampas segala aset yang dimiliki,” ucapnya.
Dia mengatakan hukuman mati dalam kekerasan seksual telah diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2016, khususnya Pasal 81 ayat 5 tentang penegasan bila anak korban kejahatan seksual lebih dari satu orang, yang mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia. Kejahatan pelaku dapat dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun.
“Meski terdapat perbedaan cara pandang di masyarakat tentang pemberlakuan hukuman mati dan hukuman maksimal, namun keduanya memberi perhatian pada efek jera dan pemaksimalan hukuman, serta edukasi di masyarakat, bahwa tidak ada ruang sedikitpun untuk pelaku kejahatan seksual di negara ini,” ujar Jasra.
Menurutnya, pemberian hukuman maksimal menjadi lonceng peringatan kepada para pelaku dan yang berniat menjadi pelaku kejahatan seksual anak. Undang-undang pemberatan hukuman maksimal berada di ruang yang hidup, bahwa secara dinamis kondisi para korban menjadi perhatian majelis hakim, meski sudah ada putusan sebelumnya. Bahwa perkembangan korban sebagaimana bunyi aturan tersebut, dapat mengubah putusan di tingkat pengadilan yang lebih tinggi.
“Saya kira belakangan kasus kekerasan seksual menjadi fenomena kekerasan yang muncul beritanya bertubi-tubi di negara kita. Dan menunggu putusan-putusan yang tegas baik hukuman maksimal maupun hukuman mati,” tuturnya.
Bersih dari Pelecehan Seksual
Dia menyesalkan tindakan Herry Wirawan yang menyalahgunakan izin operasional pesantren, amanah mendidik anak untuk belajar agama, amanah para wali santri. Herry malah melakukan aksi kejahatannya bertahun-tahun.
“Sebelumnya kita ketahui, dari ungkapan bukti-bukti di persidangan, ada modus pelaku untuk mengembangkan usaha melalui hasil kejahatan luar biasanya. Yang dilakukan secara berulang-ulang kepada 12 santriwati. Tidak hanya itu, bahkan pelaku juga sudah merencanakan pengembangan usaha melalui hasil kejahatannya, dengan terlahirnya 9 bayi dari rudapaksa tersebut,” ungkapnya.
Menurutnya, Herry sadar betul melakukan kejahatan tersebut. Pasalnya, Herry mempunyai tanggung jawab sebagai pimpinan, tenaga pendidik, pendiri beberapa lembaga pendidikan, dan figur moral berbasis agama.
“Bahkan disayangkan kejahatan yang tidak diketahui tersebut, menempatkan pelaku menjadi Ketua Kelompok Kerja Pendidikan Kesetaraan Pondok Pesantren Salafiyah (PKPPS), yang jejak digitalnya dapat dilihat dengan mudah di website resmi Kementerian Agama. Hal tersebut menjadi kedok pelaku dapat dengan mudah bertemu pejabat negara,” katanya.
“Bahkan dikabarkan sebenarnya lembaga lembaga pendidikan yang didirikannya sudah didatangi pengawas, namun dapat berlindung di balik kedok posisi penting tersebut. Tentu sangat disayangkan, tidak ada mekanisme pencegahan dan deteksi atas perilaku kejahatannya, yang menyebabkan berdirinya beberapa lembaga pendidikan dan jatuhnya para korban,” tambahnya.
“Bertahun-tahun lamanya kejahatan HW, tentu menjadi sangat penting untuk dunia pesantren segera berbenah, untuk mulai bergerak melawan kejahatan seksual di dalam pesantren,” katanya.
Menurutnya, pesantren harus berani merubah diri, dengan mulai menyampaikan batasan-batasan penting yang harus dilakukan, antara hubungan guru dan santri. Dia mengatakan kasus kekerasan seksual harus benar-benar dilawan oleh pesantren sendiri.
“Agar dari kisah HW, kita mengembalikan cita-cita luhur para pendiri pesantren di negeri ini. Kita ingin menjawab kegelisahan Gus Menteri yang mengatakan ini fenomena data gunung es di dunia pesantren,” ucapnya.
Dia mengatakan kebijakan yang lebih berpihak kepada korban masih terus menjadi pekerjaan rumah yang besar. Jasra mengatakan rehabilitasi terhadap korban juga harus diperhatikan karena risiko yang harus dijalani sepanjang hidup.
“Saya kira dengan perubahan paradigma Undang-undang tentang pemberatan hukuman maksimal kepada pelaku kejahatan seksual, juga harus seiring dengan rehabilitasi yang lebih integratif, berkelanjutan dan jangka panjang untuk korban kejahatan seksual. Apalagi korbannya anak-anak, yang negara punya kewajiban melindunginya sampai 18 tahun,” katanya.
Jasra menganggap putusan ini juga menjadi harapan KPAI tentang adanya perubahan cara bekerja, pandangan dalam kebijakan, norma, sistem, prosedur, operasional di dalam penanganan perlindungan khusus anak.
Sebab, lanjutnya, seringkali respons Anak-anak Membutuhkan Perlindungan Khusus (AMPK) yang di dalam PP 78 Tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus Anak ada 15 kategori AMPK masih sangat lemah, karena instrumen kebijakan yang belum banyak berpihak.
“Seharusnya apa yang diputuskan majelis hakim menjadi penguat harmonisasi kebijakan terkait pemenuhan hak perlindungan anak, terutama anak anak korban kejahatan seksual baik di daerah-daerah,” katanya. (305/dtc)