BORONG | patrolipost.com – Ekofeminisme merupakan suatu keterkaitan dan keseluruhan dari sebuah teori dan praktik. Hal ini menuntut kekuatan khusus dan integritas dari setiap unsur hidup. Berbicara tentang ekofeminisme berarti berbicara tentang adanya ketidakadilan di dalam masyarakat terhadap perempuan.
Ketidakadilan terhadap perempuan dalam lingkungan ini berangkat pertama-tama dari pengertian adanya ketidakadilan yang dilakukan oleh manusia terhadap non-manusia atau alam. Perempuan selalu dihubungkan dengan alam, baik secara konseptual, simbolik maupun secara linguistik.
Menurut seorang ekofeminis, Karen J Warren (1996), keterkaitan antara perempuan dengan alam itu tidak mengherankan, mengingat bahwa masyarakat kita dibentuk oleh nilai, kepercayaan, pendidikan, tingkah laku yang memakai payung patriarki, di mana terdapat justifikasi hubungan dominasi dan subordinasi, penindasan terhadap perempuan oleh laki-laki.
Namun perlu digarisbawahi, sejarah telah mencatat banyaknya penindasan terhadap kaum perempuan, karena mereka melihat perempuan sebagai objek atau bahkan sebagai budak yang hanya dapat digunakan untuk pemuas hawa nafsu belaka.
Perempuan seolah dianggap bukan manusia, karena mereka tidak diperlakukan seperti halnya manusia laki-laki. Sebagai contoh, kasus pada zaman jahiliah jika bayi yang lahir saat itu berjenis kelamin perempuan, akan dikubur hidup-hidup. Bayi perempuan dianggap sebagai sebuah malapetaka. Sebaliknya jika bayi yang lahir berjenis kelamin laki-laki, akan disanjung dan dijunjung setinggi-tingginya. Bayi laki-laki dianggap sebagai suatu anugrah yang luar biasa berharga.
Dikutip dari website resmi jazirah.id, isu tentang lingkungan sebenarnya berkaitan erat dengan isu perempuan. Salah satu paradigma yang menarik dalam melihat masalah kerusakan lingkungan ialah paradigma ekofeminis. Paradigma ini memandang faktor kerusakan ekologi dari perspektif gender. Hal ini terjadi karena permasalahan lingkungan saat ini tidak netral gender.
Di mana ketika terjadi kerusakan alam, perempuan menjadi pihak yang paling rentan terkena dampak negatifnya, hal tersebut disebabkan oleh konstruksi karakter yang dilabelkan pada perempuan.
Terjadinya kerusakan alam saat ini seperti berbanding lurus dengan terjadinya peningkatan kekerasan terhadap perempuan. Namun, kedua kasus tersebut seolah terabaikan, bahkan tak terselesaikan dan malah cenderung terus diaplikasikan.
Contoh dari perempuan yang telah dialamkan adalah adanya istilah-istilah seperti “lingkungan diperkosa”, “hutan perawan”, dan “Ibu Bumi”.
Namun, ada istilah “bitch” yang dalam bahasa Inggris menjurus kepada perempuan pekerja seksual; istilah “ayam kampus”, atau “jinak-jinak merpati” yang merujuk pada perempuan yang tampak tenang namun sesungguhnya liar.
Namun terlepas dari anggapan apapun terhadap perempuan, sesungguhnya perempuan dan alam adalah sepasang kawan dekat, sebab keduanya akan melahirkan kehidupan.
Alam akan menumbuhkan pepohonan, mengalirkan air sebagai unsur penting dalam kehidupan, dan menjaga keseimbangan. Begitu juga perempuan, ia akan melahirkan seorang anak manusia, merawat calon peradaban, dan menjaganya sampai tulang-tulang rapuh itu kuat.
Selain itu, perempuan juga menjadi elemen yang sangat berdampak besar apabila alam mengalami kerusakan. Misalnya, ketika terjadi kelangkaan atau tercemar sumber air, akan mengakibatkan perempuan sulit dalam mengakses air yang bersih untuk keperluan rumah tangganya. (pp04)