Lakon Drupadi Mengeksplorasi Tradisi dan Refleksi Pedoman Moralitas Bangsa

drupadi ok
Lakon Drupadi yang dipentaskan Teater Monolog pada Festival Bali Jani 2022 di Taman Budaya Bali. (ist)

DENPASAR | patrolipost.com – Lakon Drupadi yang dipentaskan Teater Monolog pada Festival Bali Jani 2022 di Taman Budaya Bali cukup istimewa. Gung Ocha, sebagai Drupadi yang berperan tunggal mampu menyampaikan pesan seorang perempuan yang menggugat sistem patriarki. Kekuatan tokoh Drupadi didukung oleh para penari dan musisi yang dilibatkan.

Direktur Perfilman, Musik, dan Media, Dirjen Kebudayaan, Kemendikbud Riset dan Teknologi Ahmad Mahendra mengungkapkan, pentas teater itu mampu mengeksplorasi kekuatan media baru sebagai basis berkesenian.

Bacaan Lainnya

“Ini upaya kreatif, patut kita dukung,” kata Mahendra secara daring, Sabtu (15/10/2022)

Menurutnya, pementasan ‘Drupadi’ tidak saja mengeksplorasi tradisi, tapi refleksi yang memberikan pedoman moralitas bangsa.

“Pentas ini penting sekali. Ia membicarakan isu perempuan, tanpa harus meniadakan lelaki,” ujarnya.

Seniman patung Nyoman Nuarta juga memberikan tanggapan terkait pementasan lakon Drupadi. Menurutnya, penulis naskah dan sutradara mampu menunjukkan sisi kecerdasan dari pertunjukan.

“Ia tahu persis selera penonton masa kini. Disajikan dengan indah, mengalir, dan berisi,” kata Nuarta.

Selain mengemas isu perempuan secara baik, pertunjukan itu juga menyuguhkan visualisasi yang menawan. Sutradara visual Dibal Ranuh mengatakan, ia banyak menggali inspirasi dari lakon monolog yang ditulis Putu Fajar Arcana ini.

“Naskahnya sendiri sudah visual, jadi saya tinggal menerjemahkannya ke dalam citraan visual dengan menggunakan teknologi,” kata Dibal.

Sebagai pemeran Drupadi, Gung Ocha, merasa terhormat diberikan kepercayaan menjadi tokoh sentral sepanjang pertunjukan berlangsung.

“Terus terang saya masih tak percaya diberi peran Drupadi,” kata Ocha.

Sutradara Putu Fajar Arcana menambahkan, penulisan naskah “Drupadi” ini dibuatnya sebagai versi dirinya sendiri serta tidak memperbaharui kisah-kisah klasik tentang Drupadi, tetapi menggunakan kekuatan teks untuk merespons realitas timpang yang terjadi di tengah masyarakat. Dirinya merasa prihatin terhadap berbagai kejadian yang melecehkan perempuan di berbagai belahan dunia.

“Ada pemuka agama yang melecehkan para murid perempuan, ada pula perempuan yang dibunuh karena alasan atribut agama. Kita masih bisa menderetkan lagi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan,” imbuh Putu Fajar.

Kemudian Dia menggali kembali sistem nilai yang terdapat dalam kisah “Drupadi” yang sepanjang hidupnya diceritakan hampir selalu berada di posisi sebagai seorang Dewi yang penurut.

“Makanya Drupadi menggugat dengan melontarkan pertanyaan, apa karena aku perempuan? Dewi Drupadi menggugat dunia yang selalu diciptakan oleh para lelaki. Sejak masa klasik sampai masa kini, sistem yang patriarkistik telah menjadi cangkang yang sulit ditembus oleh perempuan. Para lelaki penciptanya selalu berlindung di balik relasi kuasa, yang membuat para perempuan selalu jadi bayang-bayang,” ujar Fajar. (pp03/030)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *