Ipung dengan buku tentang dirinya.
DENPASAR | patrolipost.com – Bercerita tentang kehidupannya selama ini, bagaimana mimpinya, serta cita-citanya diulas habis dalam buku setebal 186 halaman oleh aktivis perempuan dan anak di Bali, Daeng Ipung atau Siti Sapura
“Niat saya untuk membuat buku ini sudah sangat lama, jauh sebelum menangani kasus Angeline, saya sudah punya keinginan untuk membuat buku tentang saya,” ucapnya saat peluncuran buku, Selasa (29/3/2022) di Denpasar.
Dalam buku yang ditulis dengan gaya bertutur, perempuan yang berprofesi sebagai pengacara ini mengungkapkan jika nama aslinya adalah Daeng Ipung, anak dari Daeng Abdul Kadir (almarhum). Bukan Sapura atau Siti Sapura seperti yang orang kenal selama ini.
Diceritakan, sejak ayahnya meninggal, Daeng Ipung mengatakan jika kehidupannya berubah drastis dari putri seorang pengusaha sukses di Serangan, Denpasar, menjadi anak sebatang kara. Di usia 4 tahun, ia banting tulang menangkap nener (anak ikan bandeng) dan keong yang ada di pantai. Hal itu dilakukan tiga kali dalam sehari hanya untuk memenuhi kebutuhannya. Bukan hanya itu, Daeng Ipung kecil juga mengurus pekerjaan rumah seperti mengepel lantai, mencuci piring dan pakaian, menyapu rumah dan lainnya.
“Setiap saat harus siap dihardik atau dipukul ketika tanpa sengaja ada gelas atau piring meluncur jatuh dari tangan saya,” kenangnya.
Tak lepas dari ingatannya satu peristiwa cukup tragis ia alami ketika usia 22 tahun. Di mana saat itu ia hanya mengenakan pakaian tidur, mendadak ditarik dari kamar oleh orang-orang yang selama ini dianggapnya keluarga.
“Dengan tega mereka lalu menginjak-injak saya mulai dari kepala hingga kaki. Jangan ditanya rasa sakit dan luka hati yang saya alami. Setelah puas menginjak-injak, saya dilempar begitu saja di depan rumah,” ungkapnya.
Singkat cerit, seminggu setelah dianiaya, Daeng Ipung nekat menenggak cairan pembasmi serangga. Namun ia hanya tidak sadarkan diri dan mati suri selama 4 hari dalam perawatan di RSUP Sanglah Denpasar.
Daeng Ipung tak berhenti menyalahkan Tuhan, lantaran ingin mengakhiri hidup namun masih diberi nafas. Pada saat sadar usai mati suri, ia terngiang petuah almarhum ayahnya, “Jadilah orang kuat, berani, berani, selama kamu benar dan jujur”.
Di titik inilah, Daeng Ipung tersadar ada maksud dari Tuhan kenapa selalu menjaga agar nafasnya tak terlepas dari raganya. Perlahan Daeng Ipung bangkit, petuah dari almarhum Daeng Abdul Kadir kemudian ia jadikan pegangan hidup hingga saat ini.
“Petuah Bapak, orang yang sungguh mencintai saya dengan segenap rasa yang dimilikinya. Petuah Bapak akhirnya menjadi cemeti supaya tetap bertahan,” ujarnya.
“Dalam lakon kehidupan segetir apapun, saya berupaya berjuang karena petuah Bapak yang melecut membangkitkan saya. Petuah Bapak, Daeng Abdul Kadir, lelaki berhati seluas samudera yang selalu menjadi matahari, menjadi lentera di kegelapan malam guna menerangi hari-hari saya,” ucapnya.
Daeng Ipung juga mengungkapkan, dibuatnya buku ini untuk mencari identitas tentang dirinya, memberi pesan kepada keluarga besar Daeng Abdul Kadir, Daeng Syaban dan Daeng Sappar bahwa di Denpasar, Bali ada keturunan mereka yang masih hidup sampai sekarang.
“Saya Daeng Ipung anak dari Daeng Abdul Kadir. Saya pingin mereka yang ada di Bugis mendatangi saya, saya masih hidup, carilah saya karena saya tidak bisa mencari kalian dan saya tidak mempunyai satu lembar identitas pun tentang diri saya,” katanya berharap. (wie)