Oleh : Sumardi *)
IBADAH Qurban mengingatkan kita tentang sejarah dua anak manusia agung, Ibrahim dan Ismail. Peristiwa ini diabadikan dengan jelas dalam al-Qur’an. Bahkan diantara beberapa syariat ibadah haji, bermula dari sejarah dua Nabi yang mulia ini.
Lari – lari kecil antara bukit Shafa dan Marwa adalah refleksi pengorbanan Siti Hajar dalam mencari air untuk buah hatinya, Ismail. Lempar Jumrah, juga merupakan refleksi perlawanan Ibrahim dalam melawan godaan iblis.
Berqurban, membawa dua misi sekaligus secara beraamaan. Pertama, misi vertikal yang berhubungan langsung dengan Allah. Allah akan memberikan pahala yang setimpal, bagi siapa saja yang berqurban -Nya.
Kedua, misi horishontal, berkaitan dengan kepedulian terhadap sesama. Khususnya kaum papa dan dhuafa.
Qurban merupakan bentuk ekspresi ketaatan manusia atas Tuhanya. Allah berfirman, “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah.” [Q.S Al Kautsar : 2].
Qurban juga merupakan bentuk ekspresi kepedulian terhadap sesama. Nabi bersabda, Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lainya”. [al – Hadits].
Berqurban juga mengingatkan kita, tentang ujian ketaatan Ibrahim, dan Ismail anaknya, dalam menjalankan perintah Allah. Ibrahim dan Ismail adalah manusia pilihan Allah. Keduanya, diberikan ujian oleh Allah melebihi akal sehat mereka sebagai manusia.
Ada dialog menarik antara ayah (Ibrahim) dan anak (Ismail), ketika Ibrahim diperintahkan untuk menyembelih anaknya. Dialog ini, terekam baik dalam al-Qur’an, Surat As-Shffat : 99 – 113.
Ibrahim : Wahai anakku, dalam mimpiku, aku diperintahkan Allah untuk menyembelihmu, bagaimana pendapatmu?
Ismail : Wahai Bapakku, kerjakan apa yang diperintahkan Allah atas mu, Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang – orang yang sabar.
Begitulah cara para Nabi dalam menjalankan perintah Allah. Kami dengar, kami laksanakan.
Semoga kita mendapat inspirasi keteladanan, dalam kisah pengorbanan Ibrahim dan Ismail.
Kesalahan kita dalam mempelajari sejarah para nabi – nabi adalah, kita hanya sebatas mengagumi, tidak sampai pada mengambil hikmah dan mengikuti.
*) Penulis adalah Kepala Desa Siru, Kabupaten Manggarai Barat, NTT.