LABUAN BAJO | patrolipost.com – Asosiasi pegiat dan pelaku pariwisata di Labuan Bajo menolak rencana pemerintah membangun sarana dan prasarana (Sarpras) pendukung pariwisata di kawasan Taman Nasional Komodo (TNK). Penolakan ini disampaikan melalui konferensi pers di Labuan Bajo, Sabtu (25/7/2020).
Para pegiat pariwisata yang terdiri dari Forum Masyarakat Peduli dan Penyelamat Pariwisata (Formapp) Mabar, Asita Manggarai Barat, DPC HPI Manggarai Barat, Asosiasi Kapal Wisata Manggarai Barat (Askawi), Garda Pemuda Komodo, Sunspirit for Justice and Peace, Persatuan Penyelam Profesianal Komodo (P3Kom), Gabungan Tour Operator Lokal (GETOL) Labuan Bajo, LSM Insan Lantang Muda (ILMU), Asosiasi Tani dan Nelayan Manggarai Barat (Apel) menolak pembangunan sarpras yang akan dilakukan oleh Kementerian PUPR. Selain itu mereka juga menolak pemberian izin investasi swasta oleh Kementerian KLHK di Pulau Rinca, Pulau Komodo dan Pulau Padar.
Ketua Formapp Mabar, Aloysius Suhartim Karya, dalam pernyataannya menyampaikan bahwa pembangunan sarpras di kawasan Taman Nasional Komodo telah menciderai kawasan TNK sebagai kawasan konservasi untuk melindungi segala jenis ekosistem yanga ada dalam kawasan konservasi.
“Bahwa pembangunan sarpras yang menggunakan mekanisme atau material, semenisasi dan betonisasi tidak sesuai dengan karakter alam yang menjadi branding utama dari Pariwisata Komodo,” tegasnya.
“Hal lain yang menjadi perhatian kita kenapa kita konsisten menolak pembangunan sarpras ini. Sebab, kita melihat bahwa keinginan wisatawan yang datang ke Labuan Bajo atau Flores itu karena keindahan alamnya, bukan karena bangunan megah, betonisasi dan semenisasi itu. Untuk itu kami menyatakan menolak pembangunan sarpras di kawasan Taman Nasional Komodo,” imbuh Aloysius.
Sementara itu, Ketua DPC Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Mabar, Sebastianus Pandang menyatakan pembangunan sarpras berseberangan dengan kaidah-kaidah ecotourism.
“Wisatawan itu datang untuk menikmati keaslian atau authentic, baik alam, budaya, sosial maupun atraksi lain yang mendukung dari daya tarik dari sebuah objek wisata. Ikon atau branding dari Taman Nasional Komodo itu sudah mendunia, keasliannya. Kita harus menjaga itu dan pemerintah juga harus konsisten dengan itu,” ujar Sebastianus.
Beberapa proyek yang dinilai akan merusak bentang alam konservasi dengan betonisasi dan bangunan fisik diantaranya, jalan gertak elevated seluas 3.055 meter persegi, penginapan petugas ranger dan peneliti, area pemandu wisata seluas 1.510 meter persegi, pusat informasi seluas 3.895 meter persegi, pos istirahat 318 meter persegi dan pos jaga 216 meter persegi.
Sebagai bagian dari sarpras ini, juga akan dibangun sumur bor, dipasang pipa sepanjang 144 meter persegi, pengaman pantai sepanjang 100 meter, pembangunan dermaga seluas 400 meter persegi dengan panjang 100 meter dan lebar 4 meter melalui Sistem Pengelolaan Air Minum (SPAM).
Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga telah mengeluarkan izin bagi pembangunan resort dan sarana wisata swasta, yaitu PT Komodo Sagara Lestari (PT KSL) di atas lahan seluas 22,1 hektar di Pulau Rinca. Izin juga diberikan kepada PT Komodo Wildlife Ecotourism di atas lahan seluas 426,7 hektar di Pulau Komodo dan Pulau Padar.
Tiga alasan utama menjadi point penolakan:
Pertama, pembangunan sarana dan prasarana serta pemberian izin investasi resort swasta di Pulau Rinca sangat jelas bertentangan dengan prinsip utama keberadaan TNK sebagai kawasan konservasi alami satwa Komodo dan satwa lainnya baik di darat maupun di laut.
Kedua, pembangunan seperti itu dinilai sangat mencederai desain besar pembangunan pariwisata serta sangat merugikan para pelaku wisata dan masyarakat Mabar. Sebab, berpotensi besar akan merusak pariwisata berbasis alam (nature based tourism) sebagai branding utama pariwisata Labuan Bajo-Flores di mata dunia internasional.
Ketiga, model pembangunan yang sedang diusung pemerintah di TNK dinilai tidak lagi pro-lingkungan hidup, tetapi lebih condong kepada kepentingan investor. Sambil mendorong investasi pariwisata ramah lingkunan di seluruh Kepulauan Flores.
“Seharusnya kita menolak investasi swasta di dalam kawasan ruang hidup Komodo sendiri. Semua rencana ini kami tolak, karena berpotensi menimbulkan kehancuran TNK sebagai kawasan konservasi, serta menciptakan monopoli bisnis pariwisata di Labuan Bajo yang sangat merugikan kami sebagai masyarakat lokal,” ujar Aloysius.
Para pegiat pariwisata juga menuntut pemerintah membuka informasi seluas-luasnya terkait dengan pembangunan sarana dan prasarana di Pulau Rinca dengan segera melakukan konsultasi publik terlebih dahulu.
Selain itu, mereka juga mengutuk keras setiap usaha untuk mengalihfungsikan dan memprivatisasi kawasan TNK menjadi kawasan investasi dan mendesak pemerintah untuk mencabut izin PT yang hendak berinvestasi dalam kawasan TNK.
Tak lupa juga mendorong pemerintah untuk meningkatkan upaya-upaya konservasi di dalam kawasan TNK dan di Flores pada umumnya sebagai bentuk investasi jangka panjang merawat alam yang menjadi magnet pariwisata Flores.
Sebelumnya, berbagai bentuk penolakan dari pelaku pariwisata telah disampaikan berkali kali kepada pemerintah, termasuk lewat unjuk rasa yang melibatkan lebih dari 1.000 anggota masyarakat di Balai Taman Nasional Komodo (BTNK) dan Badan Otorita Pariwisata (BOP) Labuan Bajo, Flores pada 12 Februari 2020 lalu, namun tidak pernah direspon pemerintah. (334)