Pemberitaan Kekerasan Berbasis Gender: Jurnalis Bebas Mencari informasi tapi Pertimbangkan Dampak Tulisannya

kekerasan gender
Ilustrasi kekerasan berbasis gender. (ist)

JAKARTA | patrolipost.com – Kekerasan dan kasus berbasis gender merupakan konsumsi publik yang sangat digemari apabila diberitakan media. Oleh karena itu, peran jurnalis media online maupun cetak sangat penting agar berita yang ditulis tidak menimbulkan dampak negatif terhadap masyarakat.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melalui Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA Ratna Susianawati dalam keterangan, di Jakarta, Rabu (02/10/2024) mengajak agar sinergitas dan kerja kolaboratif terus dijaga terkait pemberitaan kasus berbasis gender.

Bacaan Lainnya

“Kerja sinergi dan kolaborasi menjadi pilar atau kuncinya termasuk dengan media dan pers. Peningkatan kapasitas media dan pers terkait pemahaman tentang hak-hak perempuan dan juga anak harus terus dilakukan,” kata Ratna seperti diberitakan Antara.

Menurut Ratna,  berbagai bentuk kekerasan berbasis gender yang terjadi di Indonesia menjadi tantangan bagi semua pihak. Kekerasan berbasis gender tidak hanya terjadi di ranah offline, tetapi ranah online kini juga menjadi medium kekerasan berbasis gender dengan korban paling banyak adalah kelompok perempuan dan anak.

“Kekerasan berbasis gender adalah kejahatan serius yang harus ditangani dengan serius. Ikhtiar pemerintah tidak pernah putus untuk melindungi perempuan dan anak,” kata Ratna Susianawati.

Senada dengan Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA, Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menuturkan ada satu tugas penting pers dalam hal distribusi berita, yakni mampu menilai dampak dari pemberitaan.

“Jurnalis tidak hanya bebas merdeka dalam mencari informasi dan fakta-fakta sebagai sumber berita, mengolah, menyimpan data-datanya, namun ketika menyebarkan juga punya tanggung jawab terhadap dampak (dari tulisannya),” kata Ninik Rahayu.

Ia menekankan pentingnya peran pers mengedepankan prinsip perlindungan korban dan responsif gender dalam setiap pemberitaan kasus kekerasan.

Temuan penelitian Dewan Pers tahun 2022 mencatat 87 persen yang melakukan pelanggaran kode etik itu merupakan media online, di antaranya menyebutkan identitas korban, mendiskriminasi dengan memberikan stereotip terhadap perempuan, pelabelan, atau menyalahkan korban.

Pelanggaran kode etik dalam penulisan berita menjadi perhatian serius. Catatannya, menjadi jurnalis bukan sekadar untuk gagah-gagahan bermodalkan kartu pers. Penting agar menjadi jurnalis yang berbekal berbagai pengetahuan agar menulis berita  sesuai dengan ketentuan dewan pers dan kode etik jurnalistik. (pp04)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.