LABUAN BAJO | patrolipost.com – Pendaratan sebuah helikopter mengangkut wisatawan di Desa Adat Wae Rebo, Senin (28/12/2020) menjadi polemik di masyarakat Manggarai Barat dan Manggarai, NTT. Banyak warga menyesalkan ulah wisatawan tersebut karena dinilai mengganggu kelestarian Wae Rebo sebagai desa adat yang menjunjung tinggi nilai budaya dan kelestarian alam.
Banyak pula yang mempertanyakan tanggung jawab Pemkab Manggarai melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan serta Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores (BOPLBF). Pemkab Mabar dan BOPLBF dinilai lepas tangan dan tanggung jawab melestarikan adat dan budaya Wae Rebo.
“Yang jelas wewenang pemberian izin penerbangan maupun pendaratan helikopter bukan pada BOPLBF. Sehingga tidak tepat jika BOP dianggap cuci tangan, karena itu tadi wewenang pemberian izin terbang dan pendaratan helikopter memang bukan di BOP,” bantah Kepala Divisi Humas BOPLBF, Sisilia Jemana, saat dikonfirmasi, Kamis (31/12/2020).
Selain itu lanjut Sisilia, terkait peresmian helipad tersebut yang dihadiri oleh BPOLBF dan Disparbud Kabupaten Manggarai beberapa waktu lalu, tidak menunjukkan bahwa BOPLBF memiliki wewenang penuh terkait penggunaan dan pemanfaatan helipad hasil swadaya masyarakat Wae Rebo tersebut.
“Berikutnya lagi, kehadiran BOPLBF saat simulasi pendaratan uji jalur evakuasi di Wae Rebo September lalu tidak bisa disimpulkan bahwa BOPLBF sebagai pihak paling berwenang atas setiap kebijakan terkait Wae Rebo,” tutur Sisilia.
Menyikapi hal ini, Ketua Lembaga Pelestarian Budaya Wae Rebo, Frans Mudir angkat bicara. Menurut Frans, tamu VIP yang mengunjungi Desa Wisata Wae Rebo dengan menggunakan sebuah helikopter pada Senin lalu mendapat sambutan yang positif dari masyarakat. Hal ini dikarenakan, tamu VIP tersebut mengunjungi masyarakat Wae Rebo dengan tujuan mulia. Penggunaan helipad untuk pendaratan helikopter milik tamu tersebut pun menurut Frans harus disesuaikan dengan kebutuhan warga Desa Adat Wae Rebo.
“Sepanjang tamu itu datang untuk menghidupi masyarakat yang sudah melarat karena Covid-19 itu bisa saja. Terus tamu itu memberikan kado Natal untuk masyarakat. Dan masyarakat yang ada sana semua senang, artinya menerima sesuatu yang membuat masyarakat hidup,” ujar Frans saat dihubungi melalui sambungan telepon, Kamis (31/12/2020).
Frans menjelaskan, lahan milik masyarakat yang diubah menjadi tempat landasan helikopter tersebut merupakan hasil swadaya masyarakat Wae Rebo. Meskipun tujuan utama dibuatnya helipad tersebut untuk keperluan penyaluran logistik dengan menggunakan helikopter milik BPBD Mabar. Namun helipad tersebut juga dapat digunakan untuk pendaratan helikopter pribadi, yang menurut Frans dan masyarakat setempat selama itu untuk membantu kebutuhan masyarakat.
“Awalnya lahan itu disurvei oleh BPBD. Begitu cocok, kami masyarakat langsung bekerja dan akhirnya jadi. Pihak lain yang membangun itu tidak ada. Itu murni hasil swadaya masyarakat Wae Rebo dan itu untuk kepentingan pengangkutan logistik melalui BNPB. Terus ada permintaan dari tamu, untuk ke Wae Rebo pake helicopter, itu koordinasinya dengan saya,” jelas Frans.
Rencana kedatangan tamu tersebut, jelas Frans awalnya setelah mendapatkan informasi dari Hans Mboeik, pegawai BPBD Mabar.
“Waktu itu Pak Hans koordinasi ke Saya, katanya tamu mau ke Wae Rebo bawa bantuan pake helikopter itu bisa atau tidak. Waktu itu sepakat tamu bersama helikopternya landing sama take off di helipad,” ujarnya.
Hans Mboeik saat dikonfirmasi Kamis (31/12) menjelaskan, ia dimintai bantuan oleh tamu VIP tersebut untuk melakukan komunikasi dengan Frans Mudir selaku Ketua Lembaga Pelestarian Budaya Wae Rebo dalam hal untuk mendaratkan helikopter berikut dengan bantuan yang yang akan diberikan ke masyarakat Adat Wae Rebo.
“Iya kapasitas saya waktu itu membantu mengomunikasikan dengan Ketua Lembaga Pelestarian Budaya Wae Rebo, Pak Frans bahwa ada tamu mau bawa bantuan buat masyarakat Wae Rebo menggunakan helikopter. Bisa atau tidak. Saat itu dapat izin dari Pak Frans. Yang tentunya sudah melalui keputusan bersama masyarakat We Rebo,” ujar Hans.
Terkait izin pendaratan helikopter selain milik BPBD Mabar, Frans menjelaskan bahwa ia dan masyarakat Wae Rebo sama sekali tidak pernah mengetahui jika harus melalui pemberitahuan kepada beberapa instansi atau lembaga.
“Kalau izin saya tidak tau. Siapa lagi yang punya hak memberi izin selain kami masyarakat? Tapi sepanjang yang saya tau, itu keringat saya kemarin untuk membangun itu, sepanjang dia (tamu) menghidupkan saya dan masyarakat, saya bilang bisa. Dan itu melalui hasil persetujuan masyarakat dan memang dia (wisatawan) datang untuk menghidupkan masyarakat,” tegasnya.
“Tidak ada ketentuan yang menyebutkan jika sebuah helikopter masuk ke Wae Rebo harus minta izin ke pihak – pihak lain. Waktu itu saja Pak Wakil Gubernur juga pernah ke sini menggunakan helikopter. Dan itu tanpa koordinasi dengan kami juga. Kami baru tau itu Pak Wakil Gubernur setelah turun di sini,” lanjutnya.
Saat tiba di Wae Rebo, tamu tersebut juga mendapat sambutan yang baik dari masyarakat Desa Adat Wae Rebo. Tidak terlihat adanya penolakan dari masyarakat. Hal ini di sampaikan oleh FS, fotografer yang menemani tamu VIP tersebut.
“Mereka kayaknya sudah dapat info, hanya saya tidak tau koordinasinya bagaimana. Saya juga tidak mau tanya soal itu. Waktu landing tidak ada penolakan dari warga karena sepertinya sudah dapat informasi sebelumnya,” ujar FS, saat dihubungi melalui sambungan telepon, Kamis (31/12/2020).
FS menjelaskan, niat awal tamu tersebut yakni ingin membawa bantuan bagi masyarakat Wae Rebo. Namun niat ini diurungkan setelah terkendala beban muatan dalam helikopter. Bantuan kemudian diserahkan dalam bentuk angpao. Angpao ini pun kemudian diterima oleh Tua Adat Wae Rebo.
“Iya mereka awalnya mau kasih logistik cuma karena berat, mereka akhirnya kasih angpao buat anak- anak di sana. Saya cuma kasih tau angpaonya harus dikasih ke Tua Adat. Tidak ada barang. Hanya kasih angpao. Tua Adat ada semua di sana waktu penyerahan. Kalau dari warga sendiri, saya lihat tidak ada penolakan, ” jelas FS.
Frans Mudir juga mengapresiasi tujuan dan niat baik wisatawan yang berkunjung hanya untuk memberikan bantuan bagi masyarakat Wae Rebo. Selain memberikan bantuan, wisatawan tersebut juga diketahui membeli souvenir masyarakat Wae Rebo.
“Kurang lebih ada 10 kain tenun. Harganya Rp 450 – 600 ribu per kain tenun. Dan itu sangat membantu kami,” tuturnya. (334)