LABUAN BAJO | patrolipost.com – Sejumlah tokoh masyarakat Lancang bersama warga mendatangi kantor Bupati Manggarai Barat, Senin (17/5/2021). Kedatangan sejumlah tokoh masyarakat ini ingin mempertanyakan beberapa hal yakni terkait lahan masyarakat yang masuk dalam kawasan kehutanan seluas 400 hektar yang nantinya akan dikelola oleh BPOLBF (Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores) serta pembangunan tapal Tower SUTT (saluran udara tegangan tinggi) yang dinilai dibangun diatas lahan milik warga tanpa sepengetahuan warga.
Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) wilayah Manggarai Barat, Stefanus Nali menjelaskan, keluhan beberapa tokoh masyarakat Lancang yakni terkait zona kawasan hutan yang melewati lahan milik warga haruslah disampaikan dengan menyertakan bukti yang otentik di lapangan, salah satunya adalah adanya bukti penanaman pilar.
“Kalau soal kawasan hutan itu perlu semua orang terlibat untuk meluruskan itu. Selalu kita sampaikan ke masyarakat tidak bisa hanya hanya komplain saja ke kami bahwa harus ada bukti bahwa peta yang ada itu ada kesalahan. Yang pertama itu soal pilar, itu benar atau tidak ada dalam kawasan dengan tunjuk bukti. Jadi kita sama – sama meluruskan dan kami siap kalau memang terjaid kesalahan,” ujar Stef saat ditemui diruangannya, Senin (17/5/2021).
Penjelasan Stef ini terkait dengan adanya pengakuan dari tokoh masyarakat Lancang terkait bukti kepemilikan lahan dengan bukti penanaman tapal batas diantara tahun 1993 hinggah 1997. Menurutnya jika bukti-bukti pilar tersebut bisa ditunjukan keberadaannya, maka pihaknya juga pasti akan menyampaikan hal tersebut ke Kementrian KLHK yang selanjutnya untuk diusulkan untuk ditinjau kembali.
“Misalnya kalau ada betul pilar yang ditanam sejak tahun 93-97 dan dibuktikan memang masih ada, baru bisa dibilang kekeliruan peta dari KLHK. Namun kita semua harus ikut terlibat untuk mengecek pilar yang ada di lapangan itu masih ada atau tidak. Dan berikan kami secara kekuatan hukum pilarnya ada karena itu salah satu bukti otentitik yang bisa kami jelaskan ke pusat. Kalau tidak ada pilar itu, kita jadi kesulitan buat kita untuk menjelaskan,” jelasnya.
Stef juga tidak menampik jika kondisi di lapangan terjadi tumpang tindih kepemilikan lahan antar warga dan kehutanan. Namun setelah dilakukannya penelusuran akan pilar – pilar yang ada, pihaknya belum menemukan (pilar) lahan warga masuk dalam zona kawasan.
“Fakta sesungguhnya di lapangan memang ada yang keluar dan ada yang masuk. Ada peta kawasan yang masuk ke lahan masyarakat, ada juga lahan kawasan yang dijadikan lahan warga, tetapi untuk membuktikan itu tetap yang utama itu pilar. Dan sejauh ini sesuai dengan penelusuran batas – batas yang otentik yang dari kami telusuri tidak ada lahan warga dalam Kawasan,” tuturnya.
Stef juga mengharapkan keterlibatan masyarakat untuk secara bersama sama meluruskan polemik kepemilikan lahan ini. Dalam beberap waktu ke depan pihaknya juga akan turun ke lokasi untuk mengecek keberadaan tapal batas tersebut.
Selain itu Stef juga mengingatkan kepada warga masyarakat terkait kepemilikan lahan 400 hektar tersebut hingga saat ini masih menjadi milik Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Terkait segala jenis permasalaahn yang menyangkut dalam kawasan tersebut, menurutnya harus dikomunikasikan dengan pihaknya tanpa melibatkan pihak lain agar tidak menimbulkan kebingungan serta polemik.
“Terkait lahan 400 hektar yang katanya diklaim BPOLBF itu sebenarnya sekarang lagi diproses. Belum sah menjadi milik BPOLBF. Itu masih milik Kementerian KLHK. Lahan itu berada dalam kawasan hutan milik kehutanan. Jika masyarakat sekitar ada keluhan terkait lahan itu seharusnya komunikasinya dengan kami (KLHK) bukan dengan BPOLBF, biar masyarakat juga tidak bingung atau timbul polemik,” ujarnya.
Sementara itu dihubungi terpisah, Direktur Destinasi BPOLBF, Konstant Mardinandus Nandus menyampikan kehadiran BPOLBF dalam rapat tersebut untuk memberikan informasi terkait kepemilikan lahan tersebut.
“Rapat tadi lebih kepada antara warga dengan pihak kehutanan, terkait keluhan dari warga soal lahan mereka yang masuk dalam kawasan hutan dan juga terkait rencana pembangunan tower SUTT milik PLN, hanya dikaitkan dengan BPOLBF, makanya kita juga tadi ikut dihadirkan dalam rapat itu,” jelasnya.
Senada dengan Kepala UPT KPH Mabar, Konstan juga menjelaskan hingga saat ini pihaknya belum secara resmi memiliki lahan seluas 400 hektar tersebut. Lahan tersebut jelasnya masih milik KLHK.
“Hingga saat ini, BPOLBF tidak pernah memiliki lahan yang dibilang 400 hektar itu, lahan yang dimaksud itu merupakan lahan milik KLHK. Sampai hari ini semua masih dalam proses, secara regulasi belum final menjadi milik BPOLBF. Artinya dari sisi regulasi di Perpres, surat keputusan KLHK dan lainnya masih on proses, hinggah nanti ketika sudah final sampai ke RDRT atau izin KLHK sudah selesai baru secara legalitas sudah menjaid milik BPOLBF,” jelasnya.
Konstan melanjutkan alih alih mengambil lahan warga, pihaknya saat ini justru tengah berkonsentrasi pada usaha membebaskan lahan APL (Areal Penggunaan Lahan) seluas 38 hektar yang akan dialihfungsikan untuk kawasan pemukiman.
“Terkait informasi BPOLBF mengambil lahan warga itu tidak benar, yang sedang dan sekarang dilakukan BOPLBF adalah memperjuangkan lahan APL 38 hektar untuk dikeluarkan dari wilayah hutan yang mana faktualnya lahan itu sekarang sudah menjadi lahan pemukiman penduduk di sekitar di Desa Gorontalo dan Golo Bilas serta Kelurahan Wae Kelambu. Lahan yang dari statusnya ada dalam kawasan hutan untuk kemudian beralih fungsi menjadi kawasan pemukiman,” ujarnya.
Salah satu permasalahan yang juga dikeluhkan oleh sejumlah tokoh masyarakat Lancang yakni adanya tapal rencana pembangunan tower SUTT. Tokoh masyarakat mengeluhkan tidak adanya komunikasi kepada warga terkait pembangunan tapal yang juga dinilai berada dalam lahan milik warga.
Terkait hal ini, Manager Unit Layanan Pelanggan (ULP) PLN Labuan Bajo, Gede Ambara Natha berharap warga Lancang harus menyertakan bukti – bukti kepemilikan lahan terkait klaim kepemilikan lahan tempat dibangunnya tower SUTT tersebut.
“Tadi pihak PLN dipanggil dikarenakan ada warga kampung Lancang mengklaim bahwa ada titik tower SUTT yang masuk di lahan mereka, namun tidak mendapat konfirmasi dari pihak PLN sebelumnya. Akan tetapi saya sarankan agar warga tersebut dipersilakan membuat surat ke PLN dengan laporan bukti kepemilikan lahan yang nantinya pihak PLN akan teruskan ke teman-teman UIP yang melaksanakan proses pengadaan tanah di lahan tersebut,” terangnya.
Menurut Gede, lahan dibangunnya tapal tower SUTT tersebut berada dalam kawasan hutan milik KLHK. Sehinggah proses yang dilakukan adalah dengan mengurus izin pinjam pakai kawasan hutan kepada KLHK. Namun lanjutnya, jika warga juga mengklaim lahan tersebut merupakan lahan milik warga, maka proses yang dilakukan adalah dengan proses membayar ganti rugi, namun dalam hal ini warga pemilik tanah wajib memiliki dokumen kepemilikan tanah.
“Keluhan warga tersebut akan ditindak lanjut jika warga punya dasar bukti kepemilikan lahan, nantinya PLN akan membantu, agar semuanya bisa clear. Sehingga jika masyarakat menyatakan itu kawasan mereka namun kehutanan menyatakan itu kawasan kehutanan, silakan masyarakat berurusan dengan pihak KLHK. Jika PLN tiba-langsung mendirikan sutet tersebut, makan PLN bisa dipidana karena tindakan penyerobotan,” ujarnya.
Selain itu, terkait kepemilikan lahan tersebut, Gede membantah pernah mengeluarkan pernyataan bahwa lahan tersebut milik BPOLBF.
“Adapun tuduhan masyarakat yang menyatakan mereka mau urus sertifikat namun PLN menyakatan itu lahan BPOLBF, PLN tidak pernah mengeluarkan statement menyatakan itu lahan BPO, itu tidak benar. Warga yang mengurus sertifikat silakan berurusan dengan BPN, bukan di PLN,” tegasnya.
Dalam rapat ini, Bupati Manggarai Barat Edistasius Endi menegaskan terkait polemik kepemilikan lahan pada lokasi tersebut harus segera diselesaikan dengan secepatnya agar tidak menimbulkan kebingungan bagi warga.
“Terkait zona wilayah Lancang baik de jure dan de facto itu milik kehutanan dan masyarakat. Koordinasinya untuk teman teman PLN, kalau masyarakat punya bukti berarti dengan masyarakat kalau tidak dengan kehutanan, jangan melebar ke BOP. Karena BOP punya sesuai Perpres 32 tidak termasuk dalam wilayah Lancang,” ujar Bupati Edi. (334)