SEMARANG | patrolipost.com – Setelah menempuh 2.600 kilometer, 32 biksu dan 2 umat yang melakoni ritual thudong akhirnya tiba di Candi Borobudur. Perjalanan yang bermula sejak 25 Maret itu usai pada 1 Juni lalu. Hari ini, Minggu (4/6) mereka merayakan puncak Waisak di situs warisan dunia peninggalan Dinasti Syailendra tersebut.
Dari Wihara Wat Phra Mahathat Woramahawihan, 33 biksu dan 2 umat mengawali thudong. Dari Thailand, mereka berjalan kaki menuju perbatasan Malaysia. Setelah itu, mereka menyusuri Malaysia dan Singapura menuju Batam. Perjalanan mereka di Indonesia dimulai pada 8 Mei lalu.
Beragam kisah mewarnai thudong kali ini. Di Malaysia, rombongan berkurang satu orang. Seorang biksu mengalami kecelakaan dan harus dirawat di rumah sakit di Malaysia. Perjalanan berlanjut bagi 32 biksu dan 2 umat. Namun, kini biksu yang bersangkutan telah bergabung kembali dengan rombongannya di Borobudur. Dia memang terpaksa tidak melanjutkan thudong.
Wawan, bhante asal Cirebon, terbang ke Thailand untuk ikut dalam rombongan thudong menuju Borobudur tersebut. Sepanjang ritual jalan kaki itu, dia agak kewalahan menghadapi cuaca ekstrem. Saat mereka melintasi Thailand dan Malaysia, suhu udara di sana mencapai 43 derajat Celsius. Karena itu, para biksu harus beristirahat selama dua jam pada siang hari.
”Pada waktu di Thai dan Malay, kami jam 11 siang istirahat. Tidak boleh melakukan perjalanan sampai jam 1 siang karena cuaca benar-benar ekstrem banget,” ungkapnya saat ditemui Jawa Pos Radar Semarang di Wihara Sima 2500 Buddha Jayanti
Di Semarang, ratusan warga, mulai anak sekolah, remaja, dewasa, hingga lansia, berjejer di pinggir jalan sembari membawa makanan dan minuman. Dalam ritual thudong, para biksu juga menjalani pindapata. Itulah ritual untuk menerima persembahan empat bahan pokok dari umat. Wujudnya adalah makanan, obat-obatan, pakaian, dan uang.
Di Wihara Shima 2500 Buddha Jayanti, komunitas lintas agama menantikan kedatangan para biksu sejak pagi. Ada Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jawa Tengah (Jateng), Gusdurian, Patriot Garda NKRI (PGN), Walubi Jateng, Pelita, komunitas mahasiswa, dan anak sekolah.
Sambutan hangat itu membuat perjalanan Wawan dan teman-temannya mendapatkan perhatian dari segala penjuru dunia. ”Saya kemarin sempat ditelepon teman dari Jepang, dari Inggris. Mereka bertanya, ’Bhante, apa benar ini di Indonesia?’ Saya ditanya apakah benar yang mengawal dan mengiringi kami berjalan itu umat non-Buddhist,” paparnya.
Penjelasan Wawan bahwa masyarakat lintas agama di Indonesia mendukung ritual para biksu itu membuat teman-temannya sesama biksu di luar negeri antusias. Mereka bahkan akan mengikuti thudong seperti Wawan jika tahun depan diadakan lagi di Indonesia. Video viral sambutan untuk para biksu di kota-kota yang dilewati selama thudong itu melunturkan citra negatif Indonesia sebagai negeri intoleran di mata dunia.
Phra Wichai, bhante asal Thailand, sempat menangis melihat antusiasme warga yang mendukung perjalanan religiusnya. ”Bagi saya, ini adalah kali pertama. Ini adalah pelajaran bagi kita semua. Saya juga ingin punya teman-teman dari Indonesia,” ungkapnya.
Dia menegaskan, misi utama thudong adalah kemanusiaan. Dan, misi itu terwujud dalam perjalanan di Indonesia. ”Toleransi masyarakatnya sangat tinggi, sangat bagus. Saya harapkan toleransi antarumat beragama ini dapat terus dipertahankan,” tutur Phra Wichai. (305/jpc)