Rakorwil KPA, Ni Made Indrawati: Masih Ada 9 Konflik Agraria di Bali

kpa bali
Koordinator Wilayah KPA Bali Ni Made Indrawati. (cha)

SINGARAJA | patrolipost.com – Untuk memperkuat konsolidasi dan perjuangan mendapatkan hak atas tanah untuk rakyat Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Bali menggelar rapat kerja wilayah (Rakorwil) di Desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak, Rabu (15/6/2022).

Rakorwil dihadiri sejumlah elemen jaringan KPA serta kelompok tani dan warga  pengusul Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) dari seluruh Bali, diantaranya Kali Unda Klungkung, Selasih Gianyar, Senganan, Kecamatan Penebel, Tabanan, Banjar Adat Bukit Sari Sumberklampok eks pengungsi Timor Timur (Timtim), Desa Sumberkima serta LPRA di Sendang Pasir Desa Pemuteran, Gerokgak.

Koordinator Wilayah KPA Bali Ni Made Indrawati mengatakan, masih tersisa sejumlah konflik agraria di  4 Kabupaten di Bali selama puluhan tahun. Masing-masing lokasi itu saat ini masuk prioritas penyelesaian melalui LPRA. Dan dalam konteks itu, KPA mendorong penyelesaian untuk terus-menerus memperkuat prasyarat pokok terwujudnya Reforma Agraria Sejati (RAS) yang dicita-citakan bersama.

“Setidaknya ada 3 (tiga) prasyarat yang harus diperkuat KPA bersama anggota, keinginan politik negara, pengorganisasian rakyat ke dalam serikat-serikat dan data agraria,” kata Ni Made Indrawati, Kamis (16/6).

Menurutnya, dalam konteks Provinsi Bali, LPRA yang dikonsolidasikan sementara seluas 1.786 hektar di 10 desa. Guna memperluas ruang gerak advokasi LPRA di Bali, KPA bersama anggota perlu melakukan refleksi, evaluasi dan menilai sejauh mana kinerja dan perkembangan pelaksanaan RA.

“Nah, melalui Rakorwil kita melakukan konsolidasi sebagai mandat organisasi untuk melakukan evaluasi termasuk melaporkan situasi agraria dan kebijakan pemerintah di Bali dalam menjalankan program reforma agraria yang tersirat dalam Perpres No.86/2018 kepada anggota diantaranya serikat tani dan komunitas pengusul LPRA,” imbuh Indrawati.

Indrawati mengatakan, dari 10 kasus konflik agraria di Bali satu kasus sudah terselesaikan, yakni kasus lahan eks HGU PT Margarana dan PT Dharmajati Sumberklampok. Dengan demikian masih tersisa 9 kasus. Sementara di wilayah yang sama yakni lokasi eks pengungsi Timtim merupakan konflik tenorial kawasan hutan sejak 21 tahun yang masih dalam proses penyelesaian.

“Di lokasi yang sama di Desa Sumberklampok ada dua yang kita usulkan melalui LPRA, satu eks HGU dan eks pengungi Timtim.Yang masih berproses dalam penyelesaian di Kementerian Kehutanan yakni eks pengungsi Timtim,” ujarnya.

Sementara Kepala Departemen Advokasi Kebijakan KPA Roni Septian mengatakan, agenda utama rakorwil KPA selain melakukan evaluasi yang terpenting yakni menyelaraskan kinerja wilayah dengan nasional. Roni menyebut tuntutan KPA Bali yakni percepatan pelaksanaan reforma agraria yang salah satu tahapan pelaksanannya yakni penyelesaian konflik agraria. Di sisi lain ada tantangan yang semakin besar dihadapi gerakan masyarakat sipil khususnya gerakan RA. Selain dampak pandemi yang melahirkan krisis berlapis di pedesaan dan perkotaan, tantangan politik agraria juga semakin besar.

Dari catatan Akhir Tahun 2021 KPA, masalah disorientasi kebijakan dan implementasi RA yang terjadi, kebijakan pro- investasi lewat UU Cipta Kerja yang menempatkan tanah sebagai barang komoditas, serta berbagai situasi krisis agraria yang dialami Anggota KPA; petani, nelayan, masyarakat adat dan para aktivis agraria.

“Di Bali banyak sekali konflik agraria, juga sangat tinggi ancaman perampasan tanah oleh perusahaan swasta maupun asing termasuk BUMN. Belum lagi dengan agenda-agenda pemerintah lainnya yang lapar tanah dengan dalih proyek strategis nasional,” ujarnya.

Roni mengatakan, seluruh tantangan itu sedapatnya diantisipasi termasuk dilakukan mitigasi sehingga yang akan menjadi tuntutan anggota KPA di Bali terkait reforma agraria berjalan dengan baik.

Secara nasional kendala yang dihadapi dalam penyelesaian konflik pertanahan yakni kemauan politik pemerintah baik eksekutif maupun legislatif. Meski pemerintah memiliki agenda redistribusi tanah seluas 9 juta hektar namun pelaksanaannya masih minim.

“Kurang dari 2 persen dari total 9 juta hektar agenda redistribusi itu tidak menyelesaiakan masalah dari sekadar pemberian sertifikat tanah di lokasi yang tidak berkonflik. Kita membutuhkan ketegasan pemerintah di Bali terutama penyelesaian di lokasi konflik eks pengungsi Timtim dan eks HGU di Desa Pemuteran,” tandasnya. (625)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *