GIANYAR | patrolipost.com – “Tawur Nawa Gempang merupakan tawur yang cukup besar untuk menyeimbangkan alam agar berkesinambungan,” begitu dijelaskan Bupati Gianyar I Made Mahayastra saat melaksanakan upacara tawur Nawa Gempang di Pura Pucak Pausan, Payangan, Sabtu (5/11).
Upacara serupa juga pernah dilaksanakan sebelumnya oleh Mantan Gubernur Bali, Dewa Made Baratha di Pura Pucak Pausan untuk memohon keselamatan alam dan masyarakat Bali. Kini dipilihnya Pura Pucak Pausan sebagai tempat pelaksanaan upacara, mengingat belakangan di wilayah tersebut banyak terjadi bencana alam. Serta Pura Pucak Pausan merupakan Pucak tertinggi di Kabupaten Gianyar yang diharapkan mampu memberikan sinar suci kepada seluruh alam dan masyarakat Gianyar.
“Bermula tanggal 9 Oktober, di Bali dan Gianyar khususnya banyak terjadi bencana akibat hujan lebat. Ada longsor, banjir atau rumah hanyut. Bahkan dalam 2 hari ada 28 titik bencana dengan kerugian mencapai puluhan miliar rupiah,” jelas Bupati Mahayastra.
“Daerah sini paling banyak terjadi bencana dan Pura Pucak Pausan merupakan pucak tertinggi di Gianyar semoga dari sini disinari keselamatan. Makanya upacara terpusat disini, serta pura Pucak Pausan merupakan situs perjalanan Rsi Markandya,” sambungnya.
Menurut Ketua PHDI Kabupaten Gianyar Jro Mangku Wayan Ardana menuturkan bahwa Tawur Nawa Gempang patut dilaksanakan manakala ada kepelikan atau bencana alam. “Menurut lontar Roga Sangara bumi, upacara Tawur Nawa Gempang patut dilaksanakan manakala ada kepelikan atau bencana serta ada kematian tidak sewajarnya seperti gantung diri atau tertimbun longsor,” jelasnya.
Ditambahkannya upacara tersebut bertujuan untuk memohon dan menjaga atau mengembalikan keseimbangan alam seperti yang tertuang dalam lontar “Tatwa Kalantaka” dimana umat Hindu sesuai keyakinannya wajib melaksanakan upacara mecaru.
“Mecaru terdiri dari kata caru yang artinya baik dan mecaru adalah membuat baik, atau menyeimbangkan kembali agar normal dan mecaru juga sebagai penebusan dosa manusia atas kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan secara tidak sengaja,” imbuhnya.
Artinya dengan mecaru manusia mempersembahkan kepada unsur bhuta kala agar bisa mendukung atau nyomya buta kala agar menjadi dewa dan tidak mengganggu kehidupan manusia serta alam, agar alam kembali normal dan seimbang.
Setelah melakukan prosesi upacara, pemangku membagikan nasi tawur agar dibagikan ke desa adat sebagai simbol bahwa telah dilakukan upacara Tawur Nawa Gempang. “Ajengan nasi tawur sebagai simbolisasi untuk menormalkan kembali, disebar di masing-masing desa sebagai suguhan kepada Bhuta Kala yang ada disana, bahwa kita sudah melakukan persembahan yang terpusat di Pura Pucak Pausan,” pungkas Jro Mangku Ardana. (kominfo/abg)