GIANYAR | patrolipost.com – Teater Bali Agung yang menjadi bagian dari Bali Safari & Marine Park kembali dibuka untuk pengunjung. Selama pandemi Covid-19 pertunjukan Bali Agung ditutup.
General Manager Marcel Driesen mengungkapkan, dibukanya kembali pertunjukan itu sebagai usaha untuk menyambut era normal baru. Menurutnya, pariwisata Bali mulai membaik.
“Saya harap juga wisatawan domestik mengunjungi Bali Taman Safari. Kami akan sangat senang,” kata Marcel, Minggu (1/5/2022).
Menyambut pariwisata era baru ini, pihaknya juga memberikan diskon 10 persen. Baik itu wisatawan domestik maupun mancanegara.
“Saya prediksi pada Juli dan Agustus turis asing akan meningkat. Karena masyarakat Eropa akan berlibur pada bulan itu,” ujarnya.
Pertunjukan teater mengambil cerita berlatarbelakang abad ke-12. Kisah yang diangkat merupakan legenda yang ada di kawasan Kintamani, Bangli yakni, kisah asmara Raja Jayapangus dan putri asal China bernama Kang Cing Wie.
Legenda bertajuk Bali Agung itu sarat dengan kearifan lokal Bali, dan juga perpaduan tradisi budaya negeri Tirai Bambu.
Dikisahkan, konflik dimulai ketika pertemuan Raja Jaya Pangus dan Kang Cing Wie. Keduanya kemudian menikah namun hingga bertahun-tahun tak juga mendapatkan keturunan. Raja memutuskan untuk meninggalkan istri yang pada akhirnya terdampar di sebuah pulau dengan berbagai satwa mengelilinginya.
Di pulau inilah sang raja bertemu Dewi Danu, seorang dewi yang mendiami Danau Batur. Dewi Danu menggoda Jaya Pangus dan sang raja tergoda. Beberapa tahun kemudian, Kang Ching Wie melakukan perjalanan untuk mencari suaminya. Ketika bertemu, ia pun merasa sedih karena suaminya telah menikah dengan Dewi Danu dan dikaruniai seorang putra.
Kang Ching Wie dalam kekecewaannya mengerahkan para pengawalnya untuk melawan Jaya Pangus. Pada akhirnya kekecewaan Dewi Danu menyebabkan berubahnya Jaya Pangus dan Kang Cing Wie.
Dalam pertunjukan Bali Agung yang berlangsung kurang lebih 1 jam itu, melibatkan 50 penari. Selain itu, satwa pun dilibatkan dalam pertunjukan ini seperti gajah, ayam, bebek, sapi, kambing, merpati, burung macaw, ular, elang, dan hornbills.
“Legenda ini terjadi di abad ke 12. Di mana raja pada saat itu ingin akulturasi budaya. Seperti contohnya uang kepeng yang berlanjut hingga sekarang,” kata Artistic Director Made Sidia. (pp03)