DENPASAR | patrolipost.com – Enam terpidana kasus pemalsuan akta jual beli Villa Bali Rich yang sudah divonis hukuman berdasarkan kasasi MA mengajukan peninjauan Kembali (PK). Hal ini membuat Hartati selaku pelapor membuat surat terbuka kepada Ketua Mahkamah Agung (MA) HM Syarifuddin untuk meminta perlindungan hukum.
Enam terdakwa kasus yang dilaporkannya tersebut mengajukan peninjauan kembali (PK), padahal putusan untuk kasus ini dinilai telah memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat (inkrah), karena telah ada putusan kasasi dari MA.
Keenam terdakwa tersebut adalah I Putu Adi Mahendra Putra SH, Hartono SH, I Hendro Nugroho Prawiro Hartono, Asral Bin Muhamad Sholeh, Tri Endang Astuti binti Solex Sutrisno, dan Suryady alias Suryady Azis. Mereka dinyatakan bersalah telah memalsukan akta jual beli Villa Bali Rich di Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali.
Para terdakwa ini sempat divonis bebas di tingkat banding, namun di tingkat kasasi, MA memvonis I Putu Adi Mahendra Putra dengan hukuman 2 tahun penjara, sementara Asral, Suryady dan I Hendro Nugroho Prawiro Hartono diganjar 4 tahun 6 bulan penjara, sedangkan Hartono dan Tri Endang dihukum 4 tahun penjara. Keenam terdakwa ini telah dieksekusi ke Rutan Gianyar, Bali.
“Dengan segala kerendahan hati, saya sangat memohon kepada Yang Mulia Ketua Mahkamah Agung RI Bapak Dr HM Syarifuddin SH MH, orang nomor satu di Mahkamah Agung RI, penentu Kebijakan Hukum di Indonesia, agar permohonan perlindungan hukum atas 6 putusan kasasi pidana Mahkamah Agung RI yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkrah), tetap berdiri tegak,” kata Haryati, pelapor kasus pemalsuan surat jual beli Villa Bali Rich seperti dikutip dari surat terbukanya, Minggu (6/6/2021).
Kasus ini berawal ketika Hartati berencana menjual vila warisan almahum suaminya kepada terdakwa Asral Bin Muhamad Sholeh senilai Rp 38 miliar. Pembayaran DP sebesar Rp1 miliar dilakukan pada 9 Juli 2015 dengan perjanjian, Asral akan mencicil sisanya dan membayar lunas pada 31 Desemberi 2016.
Asral lalu ingkar janji (wan prestasi), karena hingga kasus dilaporkan ke polisi, dia tak pernah membayar sepeser pun lagi kepada Hartati. Bahkan jangankan melunasi pembayaran, Asral dan kelima terdakwa yang lain malah mengambil alih PT Bali Rich Mandiri, perusahaan milik almarhum suami Haryati pemilik Villa Bali Rich dengan cara ilegal.
Pengambilalihan dilakukan dengan cara memalsukan berita acara Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) luar biasa PT Bali Rich Mandiri untuk mengambil alih perusahaan itu beserta semua asetnya yang terdiri dari tanah seluas 7.335 M2 dengan bangunan seluas 3.204 M2 yang terdiri dari 19 villa, dimana setiap villa memiliki fasilitas kolam renang, restoran, spa dan lain-lain.
Surat palsu itu dibuat di kantor terdakwa Hartono yang berprofesi sebagai notaris, dan ditandatangani terdakwa I Hendro Nugroho Prawiro Hartono. Isinya berupa perjanjian jual beli saham PT Bali Rich Mandiri antara Hartati dengan terdakwa Asral, antara Hartati dengan terdakwa Tri Endang, dan antara Hartati dengan terdakwa Suryady.
Draft perjanjian jual beli palsu tersebut dibuat oleh terdakwa I Putu Adi Mahendra Putra SH, dan dituangkan pada akta otentik akta pernyataan keputusan RUPS luar biasa PT Bali Rich Mandiri No. 103 tanggal 23 Desember 2015 dan No. 112 tanggal 30 Desember 2015. Akibat adanya surat perjanjian jual beli palsu tersebut Hartati mengalami kerugian Rp 38 miliar karena saham perusahaan almarhum suaminya (Rudy Dharnamulya) beserta aset-asetnya beralih kepada Suryady, Asral dan Tri Endang.
Dari surat terbuka Hartati kepada ketua MA diketahui kalau untuk mengajukan PK, keenam terdakwa mengajukan novum berupa dokumen Uji Otentifikasi Tandatangan (Swasta) Nomor: GRAF2005-803 tanggal 8 Mei 2020.
“Dokumen yang diajukan oleh terdakwa/pemohon PK tidak relevan dan tidak bisa digunakan untuk dijadikan sebagai bukti baru (novum),” kata Hartati dalam suratnya.
Berikut alasan Haryati menilai dokumen itu tidak relevan dan tidak bisa dijadikan novum:
- SURAT ASLI yaitu Surat Jual Beli Saham antara Hartati-Suryady tanggal 21 Desember 2015, Surat Jual Beli Saham antara Hartati-Tri Endang Astuti tanggal 21 Desember 2015, dan Berita Acara RUPS PT Bali Rich Mandiri tanggal 21 Desember 2015
telah dilakukan penyitaan oleh Penyidik dari Mabes Polri sejak 6 Februari 2017. Bahkan Putusan MA Nomor 534 K/Pid/2020 tanggal 30 Juni 2020 atas nama terdakwa Notaris Hartono yang pada AMARNYA menetapkan barang bukti Nomor urut 1 sampai dengan Nomor urut 78 TETAP TERLAMPIR DALAM BERKAS PERKARA.
Dengan demikian, dalam kurun waktu tanggal 6 Februari 2017 hingga saat ini ketiga surat yang telah dinyatakan palsu tersebut tidak berada di tangan Pemohon PK. Jadi, bagaimana lembaga LKP Grafologi (Swasta) bisa melakukan Uji Otentifikasi tandatangan pada tanggal 8 Mei 2020 tanpa adanya surat asli?
- Apabila Pemeriksaan Uji Otitenfikasi Tanda Tangan mengacu kepada Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2009 tentang Tata Cara dan Kriminalistik Tempat Kejadian Perkara dan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti kepada Laboratorium Forensik Kepolisian Negara Republik Indonesia terkait persyaratan wajib yang harus dipenuhi untuk pemeriksaan dokumen, dalam pasal 80 ayat (2) disebutkan bahwa “dokumen yang dikirimkan adalah dokumen asli, bukan merupakan tindasan karbon, faks atau fotocopy”, sehingga dokumen Uji Otentifikasi Tandatangan (Swasta) Nomor: GRAF2005-803 tanggal 8 Mei 2020 yang dajukan Pemohon PK tidak memenuhi persyaratan tersebut.
- Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik Mabes Polri No. Lab: 3741/DTF/2017 tanggal 24 Oktober 2017 yang dijadikan alat Bukti Surat Penuntut Umum, merupakan Berita Acara dalam bentuk resmi yang dibuat oleh Pejabat
Umum yang berwenang yang memenuhi kriteria alat bukti surat sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 187 huruf a Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dimana Berita Acara Pemeriksaan
Laboratoris Kriminalistik No. Lab: 3741/DTF/2017 tanggal 24 Oktober 2017 telah menerima dokumen bukti (ASLI).
“Hasil kesimpulan dari pemeriksaan yang dilakukan oleh Ahli beserta tim terhadap tanda tangan saya (pada dokumen perjanjian jual beli) dinyatakan non Identik atau merupakan tanda tangan yang berbeda dengan tanda tangan asli saya,” tegas Haryati.
Surat terbuka ini antara lain ditembuskan kepada Presiden Jokowi, Ketua DPR Puan Maharani, Ketua Badan Pengawas MA, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit, Menkumham Yasonna Laoly, Ketua Pengadilan Tinggi Bali Ida Bagus Djagra, dan Ketua PN Gianyar. (rls)