JAKARTA | patrolipost.com – Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 terus menuai kritik. Sebab, peraturan tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan Covid-19 tersebut sarat dengan potensi pelanggaran konstitusi. DPR pun menyarankan agar pemerintah menggantinya dengan RUU APBN Perubahan (APBNP).
Diberitakan sebelumnya, ”pasal imunitas” dalam Perppu 1/2020 menuai banyak penolakan. Sebab, pasal itu memberikan kekebalan bagi para pengelola keuangan negara dari jerat hukum pidana. Aturan tersebut jelas menabrak fungsi pengawasan dari lembaga negara lainnya yang diatur undang-undang (UU).
Menurut anggota Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay, mekanisme APBNP akan lebih diterima masyarakat daripada perppu. Pemerintah pun tidak perlu khawatir karena pembahasan APBNP diprediksi bisa dilakukan dengan cepat.
”Dalam situasi krisis begini, saya yakin semua fraksi tidak akan mempersoalkan usulan APBN Perubahan dari pemerintah. Selama anggaran diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat, semua tentu mendukung,” imbuh wakil ketua Fraksi PAN itu.
Partai Demokrat juga menolak Perppu 1/2020. Bahkan, anggota Fraksi Demokrat Syarief Hasan meminta pimpinan DPR mengembalikan perppu tersebut ke pemerintah. Bukan hanya perppu, Demokrat juga mendesak Presiden Joko Widodo membatalkan regulasi pelaksana perppu, yaitu Peraturan Presiden (Perpres) 54/2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN 2020.
Syarief optimistis, dengan mengajukan APBNP, parlemen akan bisa menerima. Apalagi dalam situasi darurat di tengah pandemi Covid-19 saat ini. ”Selama untuk kepentingan rakyat, saya yakin semua fraksi akan menerima APBN Perubahan,” imbuh wakil ketua MPR itu.
Pihaknya juga mendukung langkah sejumlah tokoh dan penggiat masyarakat sipil yang mengajukan judicial review atas Perppu 1/2020 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal yang digugat antara lain adalah pasal 2, pasal 27, dan pasal 28.
Sementara itu, anggota Fraksi PDIP Masinton Pasaribu menganggap Perppu 1/2020 sebagai sabotase konstitusi. ”Ini kepentingan nyata kaum oligarki,” cetus dia.
Masinton mengakui bahwa presiden bisa mengeluarkan perppu dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Namun, dia mengingatkan bahwa ada tiga syarat objektif sebagai parameter adanya kegentingan yang memaksa berdasar putusan MK. Yaitu adanya keadaan atau kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasar UU.
Kedua, UU yang dibutuhkan tersebut belum ada atau tidak memadai sehingga terjadi kekosongan hukum. Ketiga, kekosongan hukum itu tidak bisa diatasi dengan menyusun UU secara prosedur biasa. Sebab, akan dibutuhkan waktu yang lama.
Masinton menuturkan, pemerintah sudah mempunyai payung hukum dalam menangani virus korona, yaitu UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Masyarakat, dan UU 4/1984 tentang Wabah Penyakit Menular.(305/jpc)