DENPASAR | patrolipost.com – Rona senja melengkapi kehangatan dalam gelak tawa kekeluargaan dari para Sekaha Teruna Teruni (STT) di Desa Serangan. Ulatan tangan merangkai janur sedemikian rupa hingga tercipta penjor yang siap menghiasi Piodalan di Pura Dalem Sakenan.
“Festival Penjor ini membuat kami semakin kompak, seru juga bersama-sama mencari bahan sampai ke Klungkung dengan naik mobil pinjaman dari desa. Saat pembuatan, semua memberi ide dan kami semua berkreasi menghias penjornya. Butuh waktu kurang lebih seminggu, sejak 22 sampai 30 April kami berkumpul menyelesaikan penjor ini,” ujar Teruni asal Banjar Dukuh Desa Serangan Ni Kadek Noni Purnama Dewi, saat ditemui Sabtu (3/5/2025).
Pagi itu, laut biru Pulau Serangan menjadi saksi bisu hadirnya ribuan pamedek pada Piodalan Pura Dalem Sakenan. Dalam suasana yang sakral, seluruh pamedek terhanyut dalam lantunan doa suci di antara denting genta, harmoni kidung, dan harum dupa.
Siapa pun dapat melihat antusiasme pamedek dari seluruh penjuru Bali untuk menghadiri upacara yang berlangsung setiap 210 hari pada Saniscara Kliwon, Wuku Kuningan. Tergambar jelas bhakti tulus ikhlas para pamedek dari persembahan yang disiapkan dengan indah dan meriah.
Dengan iringan suara ombak dan semilir angin laut, tradisi jukung mengawali rangkaian piodalan di Pura Dalem Sakenan.
Penglingsir Puri Agung Kesiman, Anak Agung Ngurah Gede Kusuma Wardana, bersama beberapa pamedek lainnya menaiki perahu tradisional, menghidupkan kembali napak tilas spiritual leluhur yang dahulu menyeberangi lautan demi bhakti.
Kesakralan dari upacara ini semakin terasa saat sesolahan Tari Rangda, Barong Ratu Gede, Baris Cina, dan Ratu Tuan dipentaskan sebagai makna kehadiran perwujudan Bhatara Sakenan. Lebih dari keindahan tarian, suasana magis di puncak pujawali semakin terasa dengan adanya pementasan topeng, wayang, dan Tari Rejang.
Made Suta, seorang pamedek asal Desa Pejeng, Gianyar, menyebutkan, kemudahan dan kenyamanan yang dirasakannya saat melakukan persembahyangan di Pura Dalem Sakenan.
“Saya setiap enam bulan rutin ke sini sembahyang meminta keselamatan dan kerahayuan. Sekarang banyak ada penjor di sini, piodalannya jadi terasa semakin meriah. Selain itu aksesnya bagus, parkirnya juga aman. Semoga semua pamedek mendapatkan anugerah Ida Bhatara Sakenan,” ujar Made Suta.
Keramaian yang tercipta tetap memberikan suasana yang tertib, akses parkir dan akses masuk pamedek untuk sembahyang diatur sedemikian rupa. Pada pelaksanaannya, para pamedek dapat memanfaatkan empat lahan parkir yang telah disiapkan oleh Desa Adat Serangan bersama dengan PT Bali Turtle Island Development (BTID).
Area parkir tersebut meliputi area depan Pura Sakenan, Abian Duwe Puri Kesiman, Lapangan I Wayan Bulit, dan Zona Parkir Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kura Kura Bali tepat di sebelah utara jembatan.
Kepala Komunikasi BTID Zakki Hakim mengungkapkan, dukungan terkait pelaksanaan piodalan ini menjadi salah satu bentuk nyata dari kolaborasi antara BTID dan Desa Adat Serangan.
“Sedari awal kami berkomitmen untuk ikut menjaga kesakralan dan kesucian pura yang ada di Desa Adat Serangan, termasuk di dalam KEK Kura Kura Bali. Tentunya untuk itu selama ini telah terjalin kerja sama yang erat antara BTID dengan Prajuru Desa dan Pengempon dari masing-masing pura,” ujar Zakki.
Suasana di sekitar pura terlihat semakin cantik dengan kehadiran penjor yang tertata rapi di sisi kiri dan kanan Jaba Pura Sakenan, yang merupakan bentuk kreativitas serta kolaborasi STT dari enam banjar di Desa Adat Serangan dalam rangka Festival Penjor.
Ketua Karang Taruna Baruna Jaya, Kelurahan Serangan, I Wayan Wialya menyatakan, Festival Penjor yang diadakan bertepatan dengan Piodalan Pura Dalem Sakenan membuat suasana semakin meriah.
Dalam proses pembuatannya terdapat makna kreativitas dan kolaborasi dari pemuda dan pemudi Serangan dalam menjaga tradisi penjor ini.
“Hal paling berkesan dalam festival ini adalah keriuhan para teruna dan teruni dalam menghias penjor. Karena ini merupakan yang pertama kali, mereka berusaha saling membantu dan bersenang-senang. Semoga keriuhan ini dapat kami rasakan lagi di piodalan berikutnya,” ujar Wayan Wialya.
Tradisi adat dan budaya di Desa Adat Serangan adalah denyut nadi keharmonisan dan keselarasan yang semakin mengeratkan hubungan antar warga. Di tengah derasnya arus perubahan, nilai kearifan yang diwariskan para leluhur tetap terjaga, menjadi pondasi kokoh bagi kehidupan yang rukun dan damai.
Lebih dari sekadar perayaan, Hari Raya Kuningan dan Festival Penjor menjadi ruang bertumbuh bagi generasi muda. Bagi Kadek Noni, momentum ini bukan tentang menjadi sang juara, tetapi tentang bagaimana seluruh anggota STT tumbuh dalam semangat kebersamaan dan saling melengkapi.
“Kolaborasi antara teruna dan teruni menjadi makna utama dalam proses ini. Penjor kami adalah cerminan dari STT kami kuat, indah, dan dibuat dengan hati yang bersatu,” tutur Kadek Noni. (pp03)