MANGUPURA | patrolipost.com – Meski mengalami cacat fisik, bukan berarti membuat Ketut Tirtayasa (45) menyerah. Di tengah keterbatasan fisiknya sebagai pria lumpuh, ia justru semakin bersemangat untuk menyambung hidup. Terbukti, berkat ketekunan dan keuletannya ia kini sukses menjadi perajin bokor berbahan sampah.
Pria kelahiran Banjar Beng, Desa Carangsari, Kecamatan Petang, Badung ini menggeluti kerajinan bokor berbahan kertas dan koran bekas sejak dua tahun lalu. Kini bokor dari ‘sampah’ bahkan cukup laris di pasaran. Meski sebatas kerajinan rumahan, namun hasil karyanya sudah mampu membantu ekonomi keluarganya.
Untuk diketahui, Tirtayasa mengalami lumpuh sejak kecil. Awal kelumpuhannya karena mengalami sakit hingga kejang-kejang. Sehingga membuat kedua kakinya lumpuh total dan harus menggunakan kursi roda hingga saat ini.
Meski mengalami cacat fisik dari kecil ia tetap berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri. Sebelum ahli membuat kerajinan bokor, Tirtayasa sempat mencoba sejumlah pekerjaan. Namun, apa daya karena kekurangan fisiknya, sejumlah pekerjaan yang dipelajarinya gagal. Namun demikian, ia tak putus asa. Ia justru tambah semangat mencari peluang untuk menghasilkan rupiah sampai akhirnya ia bisa membuat kerajinan bokor. Kerajinan bokor ini digeluti sejak dua tahun lalu.
“Sebelum membuat kerajinan bokor dari kertas, sebelumnya saya sempat belajar mengukir kayu juga, tapi berhenti karena tidak kuat duduk. Kemudian, saya belajar ngesol sepatu, cuma kadang ada yang nyuruh kadang tidak,” ungkap Tirtayasa saat ditemui di rumahnya di Banjar Beng, Desa Carangsari, Kecamatan Petang, Badung, Selasa (1/10).
Ia mengaku ulet mengambil berbagai macam pekerjaan karena tidak ingin membebani keluarganya yang lain yang secara ekonomi juga masih serba kekurangan. “Mau bagaimana lagi. Saya harus tetap berusaha demi dapat uang untuk makan,” katanya.
Keahliannya membuat kerajinan bokor didapat secara otodidak, Saat itu, kata dia ada siswa SD di sepurataran rumahnya yang menyuruhnya untuk membuat kerajinan berbahan kertas. Saat itulah ia belajar hingga kini menjadi pengerajin bokor berbahan kertas bekas.
“Awalnya saya coba-coba karena ada siswa yang menyuruh saya buat dulu. Dan itu saya terus pelajari sampai bisa seperti sekarang,” jelas anak dari pasangan I Wayan Redit (ayah) dan I Nyoman Rudeh (Ibu) ini.
Dia membuat kerajinan bokor secara manual. Mulai dari menggiling koran atau kertas sampai finishing. “Saya butuh waktu enam hari untuk satu bokor,” katanya.
Bokor yang dibuatnya pun ada dua jenis, hanya berbeda dari segi ukuran saja. Untuk bokor yang besar ia hanya menjual dengan harga Rp 160 ribu. Namun untuk yang ukuran kecil dijualnya dengan harga Rp 50 ribu.
“Untuk pemasaran saya dibantu oleh para tetangga. Lumayan order cukup banyak,” bebernya.
Dalam berproduksi kerajinan ini, Tirtayasa mengakui memiliki banyak tantangan. Selain fisik yang tidak normal, peralatan yang dimiliki juga sangat sederhana. Bahkan untuk menggiling dan mengecat masih dilakukan secara sederhana.
“Karena semua serba manual, jadi produksinya lamban. Paling cepat satu bokor besar seminggu baru selesai satu,” kata Tirtayasa.
Ia pun berharap ke depan mendapat bantuan peralatan dari Pemkab Badung. Sehingga mempermudah dia berproduksi.
“Sangat berharap daoat bantuan pemerintah, minimal bantuan alat penggiling dan kompresor untuk alat cat,” tegasnya. (634)