DENPASAR | patrolipost.com – Fakta baru terungkap dari kasus WN Australia Paul La Fontaine yang menuding mantan istrinya WNI berinisial AVP menyembunyikan anak kembarnya IS dan SI. Ternyata mantan isterinya itu sebelumnya berkomunikasi dengan Paul lewat pesan singkat, meminta sejumlah uang jika ingin bertemu dengan kedua buah hatinya itu.
Dalam percakapan itu, AVP diduga menyebut Paul bisa bertemu anak-anaknya asalkan memberikan sejumlah uang.
“Ini sudah bukan sekadar persoalan perdata, tapi bisa masuk ranah pidana. Paul hanya ingin bertemu anaknya, tidak lebih. Kalau sampai akses anak dipertukarkan dengan uang, itu jelas-jelas bisa ditafsirkan sebagai pemerasan. Anak dijadikan objek transaksi oleh mantan isterinya Paul,” ungkap Kuasa hukum Paul, HMP Andreas N SH, Kamis (2/10/2025).
Andreas mengungkapkan bahwa persoalan hak asuh anak antara Paul dan AVP sebenarnya sudah memiliki putusan hukum tetap di tingkat Mahkamah Agung (MA). Putusan itu menegaskan hak asuh anak diberikan secara 50:50 antara Paul dan AVP. Namun hingga kini Paul tidak pernah diberi akses untuk bertemu anak-anaknya. Pihak pengadilan sudah bersurat kepada AVP di tiga alamat berbeda, tetapi semuanya tidak pernah mendapat respons.
“Sudah jelas putusan MA bahwa hak asuh anak klien kami lima puluh – lima puluh. Tetapi klien kami tidak diberi akses untuk bertemu dengan anaknya, bahkan terkesan dihilangkan. Ini bentuk penghindaran. Padahal aturan hukum seharusnya berlaku sama untuk semua pihak,” katanya.
Keadilan hukum lainnya yang dicari Paul terkait kasus pengeroyokan yang dialaminya. Andreas menegaskan bahwa pihaknya kecewa dengan vonis ringan yang dijatuhkan terhadap pelaku pengeroyokan itu. Ia menjelaskan bahwa kasus pengeroyokan yang menimpa Paul bermula saat kliennya hendak memberikan hadiah ulang tahun untuk kedua anak kembarnya.
Alih-alih bisa bertemu anaknya, Paul justru menjadi korban pengeroyokan oleh sejumlah pria. Barang-barangnya, termasuk bingkai foto dan hadiah ulang tahun, ikut dirusak. Perkara itu kemudian diproses di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar. Namun meski Pasal 170 KUHP mengancam pidana hingga 5 tahun 3 bulan, pelaku hanya dituntut 1 tahun 8 bulan yang akhirnya divonis hanya 1 tahun 3 bulan penjara.
“Ini jelas bentuk ketidakadilan. Ancaman hukuman bisa lebih dari 5 tahun, tetapi yang dituntut dan divonis hanya sekitar satu tahun. Itu merendahkan nilai keadilan yang seharusnya ditegakkan dalam perkara pidana,” tegas Andreas.
Pihaknya sedang menyiapkan gugatan lanjutan. “Kami akan lakukan gugatan Perdata Komulatif, gabungan dua perkara perdata yang belum dilaksanakan oleh mantan isterinya Paul. Pertama, soal melawan hukum yaitu hormati dan laksanakan eksekusi untuk Paul ketemu dengan kedua anaknya. Dan ke dua, masalah harta gono gini,” pungkasnya. (007)