BATAM | patrolipost.com – Penambangan pasir laut akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat. Di Media sosial berseliweran meme yang mengisyaratkan keinginan untuk pindah ke Singapura karena wilayahnya sudah luas karena lautnya ditumbun pasir laut dari Indonesia.
Selain impor pasir laut secara resmi, ternyata Kepulauan Riau juga menjadi sasaran kapal asing untuk mengeruk pasir secara ilegal.
Pergerakan kapal ilegal tersebut diketahui saat berpapasan dengan kapal Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono hendak kunjungan kerja ke Pulau Nipa. Dua kapal berbendera Malaysia tersebut kedapatan sedang melakukan aktivitas pengerukan dan hasil kerukan pasir laut di perairan Kepri pada 9 Oktober.
Setelah diperiksa Penyidik PSDKP, dua kapal yang dinahkodai oleh dua warga negara Indonesia (WNI), dengan anak buah kapal (ABK) dari China sebanyak 13 orang dan Malaysia 1 orang.
Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut (PKRL) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Victor Gustaaf Manoppo mengatakan kerugian negara berkisar lebih dari Rp 223 miliar akibat aktivitas pengerukan dan hasil kerukan (dumpling) pasir laut yang dilakukan dua kapal berbendera asing di perairan Kepulauan Riau.
“Jadi kerugian total yang negara kita alami setahun ini kita rugi Rp 223 miliar, kalau ada 10 kapal bisa dikalikan lagi,” kata Victor di Batam, Kepri, Kamis (12/10/2024) mengutip Antara.
Kapal MV YC 6 berukuran 8.012 gross tonnage (GT) dan MV ZS 9 berukuran 8.559 GT merupakan kapal jenis keruk yang berfungsi untuk mengambil pasir yang ada di dalam laut, atau disebut kapal dredgers jenis TSHD.
Kedua kapal tersebut setelah ketahuan terindikasi melakukan pengerukan di wilayah perairan Indonesia tetapi tidak dilengkapi dokumen resmi. Hanya ada dokumen pribadi nakoda kapal.
Menurut Victor, kapal tersebut terindikasi sudah beberapa kali masuk ke wilayah Indonesia, tapi berapa kali melakukan pengerukan pasir laut masih didalami, termasuk banyaknya jumlah pasir yang sudah dikeruk yang dibawa ke Singapura.
Pada salah satu kapal yang diperiksa, memuat 10 ribu meter kubik pasir laut hasil kerukan.
Dari pemeriksaan awal, menurut keterangan nahkoda, mereka mengambil pasir 10 ribu ton hanya dalam waktu 9 jam.
“Menurut pengakuan mereka 10 kali dalam sebulan, kita bisa menghitung per bulan ada 100 ribu ton yang mereka ambil bawa keluar. Satu tahun berarti 1,2 juta ton,” ujarnya.
Dia menyebut sesuai ketentuan Pasal 18 angka 12 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari perairan pesisir wajib memiliki KKPRL dari pemerintah pusat.
“Ini baru kerugian sumber daya kelautan yang diambil material. Kalau kita gabungkan, kalau ikut aturan PP Nomor 26, kapal ini harus bayar KKPRL, harus bayar bea keluar, harus membayar persetujuan ekspor, harus bayar IUP penjualan, harus membayar Amdal, artinya potensi penerimaan negara yang hilang lebih dari Rp 223 miliar,” kata Victor.
Saat ini kedua kapal berbendera asing tersebut masih dalam pemeriksaan. KKP membentuk tim penyidik yang akan mendalami sudah berapa lama aktivitas pengerukan pasir laut itu dilakukan oleh kapal tersebut. (pp04)