Siti “Ipung” Sapura.
DENPASAR | patrolipost.com – Dugaan Siti “Ipung” Sapura adanya oknum-oknum tertentu yang bersekongkol untuk mengambil tanahnya di kawasan Kampung Bugis, Kelurahan Serangan, Denpasar Selatan, rupanya mulai terkuak. Hal ini baru diketahui tak lama setelah ia menutup jalan yang dibangun di atas tanah miliknya, Rabu (9/3/2022).
“Jujur saya merasa kaget, saya baru tahu lho, pasca tanggal 9 Maret 2022 saya menutup jalan, salah satu prajuru desa adat yang bernama I Nyoman Nada, menelpon saya dan meminta saya menghadap Camat Denpasar Selatan. Di sana katanya ada Pak Lurah, Jero Bendesa dan Pak Sekda,” ucapnya, Rabu (16/3/2022) di Denpasar.
Dalam perbincangan melalui sambungan telpon, Ipung bertanya ada apa dirinya dipanggil dan ada masalah apa. Nyoman Nada lalu berkata jika jalan yang ditutup Ipung milik Pemkot Denpasar.
“Saya baru tahu, dari awal saya berteriak, saya menantang PT BTID kalau punya data dan bukti yang kuat hadapi saya, kan begitu. Kok pasca penutupan dibilang tanah Pemkot berdasarkan SK,” tuturnya.
Ipung lalu berupaya mencari dan akhirnya mendapatkan SK Wali Kota Denpasar Nomor 188.45/575/HK/2014. SK tersebut mengacu pada surat berita acara tertanggal 2 Mei 2016 Di Kantor Lurah Serangan tentang penyerahan tanah dari PT BTID selaku pihak pertama, dan I Made Sedana mewakili Desa Adat Serangan sebagai Pihak II. Di mana dalam surat tersebut berbunyi “PT BTID menyerahkan atau menyediakan tanah melingkar”.
Ipung lalu menggambar jalan melingkar dimaksud, dimulai dari pintu masuk Pulau Serangan melewati Pura Sakenan, terus ke arah utara melalui lapangan, kemudian terus ke utara hingga ada kuburan hindu dan terus melingkar ke barat melewati belakang Pura Susunan Wadon terus ke barat dan bertemu di titik pintu masuk serangan.
“Sekarang saya konfirmasi antara berita acara penyerahan ini dengan SK. Jalan yang melingkar tersebut diberi nama Jalan Tukad Punggawa I. Kemudian yang di patung sebelah lapangan namanya Jalan Tukad guming. Terus ke Timur melewati depan Pura Susunan Wadon kemudian membelok kearah utara memasuki ke Tegal Muh Taib dan tanah saya ke utara di sana tanah saya diberi nama Jalan Tukad Punggawa ndak pakai I. Setelah itu diputus dengan Jalan Tukad Penataran setelah itu nyambung ke Tukad Punggawa I,” bebernya.
Yang menjadi pertanyaan Ipung, kenapa Jalan Tukad Punggawa I seperti di dalam SK Wali Kota Denpasar tidak berhubungan dengan Jalan Tukad Punggawa di areal tanah miliknya.
“Kalau Tukad Punggawa I tidak berhubungan dengan Tukad Punggawa, yang ada II, III nya, apakah tidak ada kemungkinan penyelundupan? Seolah-olah tanah saya ini termasuk bagian dari tanah yang diserahkan berdasarkan berita acara pada tanggal 2 Mei 2016 dari BTID kepada desa Adat Serangan, dan seolah-olah Jalan Tukad Punggawa masuk dalam SK Wali Kota yang di keluarkan pada tahun 2014,” ucapnya.
Ipung juga merasa heran dengan Wali Kota Denpasar saat itu yang telah mengeluarkan SK pada tahun 2014. Pasalnya hal itu tidak sinkron dengan berita acara penyerahan pada tanggal 2 Mei 2016.
Di mana di dalam SK Wali Kota tahun 2014 disebutkan bahwa yang dimaksud adalah Jalan Tukad Punggawa I. Sementara Jalan Tukad Punggawa I telah diputus dengan Jalan Tukad Guming. Namun ketika masuk ke tanah miliknya, nama jalan menjadi Jalan Tukad Punggawa dan di potong lagi dengan Jalan Tukad Penataran menuju Jalan Tukad Punggawa I di sebelah utara.
“Bapak-bapak yang terhormat Jero Bendesa, Lurah Serangan, Camat Denpasar Selatan dan Bapak Wali Kota sekarang, saya bukan masyarakat yang bodoh. Kalau Jalan Tukad Punggawa I itu jalan Pemkot, memang benar. Tapi kalau Jalan Tukad Punggawa tanpa I, itu punya Pemkot, itu darimana? Ini penyelundupan,” ucapnya.
Oleh karena itu, Ipung meminta jawaban dari Wali Kota Denpasar kala itu maupun Wali Kota Denpasar saat ini terkait SK tahun 2014 yang telah dikeluarkan. Karena tanah miliknya yang telah dicaplok dibeli dengan menggunakan uang, bukan dibeli dengan kertas yang berbentuk SK.
Ipung juga menyatakan, jika tidak di respon, ia akan kembali menutup jalan dan membongkar jalan yang dibangun di atas tanahnya. Selain itu, ia akan melaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait keluarnya SK Wali Kota Denpasar tahun 2014.
“Siapa yang menerima upeti di sini, siapa yang menerima kompensasi di sini, siapa yang mewakili keluarga besar saya atau keluarga Daeng Abdul Kadir di sini, tentu saya berhak tahu. Karena saya yakin ada mafia dan siapa yang diuntungkan, yakni pasti yang mengeluarkan SK ini,” ungkapnya.
Ipung menegaskan dirinya akan bersurat ke Wali Kota Denpasar yang ditembuskan ke Presiden, kemudian Menteri Kehutanan, Menteri Agraria, BPN Pusat, Ombudsman RI, Kejaksaan Agung, Ketua Mahkamah Agung setelah itu ke daerah.
“Untuk daerah tembusannya ke Ketua Pengadilan Tinggi Denpasar, Ketua Pengadilan Negeri Denpasar, Kejaksaan Tinggi Denpasar, Kejaksaan Negeri Denpasar, baru ke Camat, Lurah, Bendesa, Dinas Kehutanan, BPN Provinsi Bali, BPN Kota Denpasar, BTID,” tegasnya. (wie)