BANGLI | patrolipost.com – Rencana Pemerintah Kota Denpasar untuk merelokasi pembuangan sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Landih, Kabupaten Bangli memicu pro-kontra. Pasalnya, kiriman sampah dari luar daerah akan menimbulkan dampak lingkungan dan sosial-budaya bagi Bangli.
Proyeksi pengiriman 190 truk sampah per hari ke TPA Landih yang direncanakan mulai Januari 2026 ini mulai memunculkan reaksi penolakan dari masyarakat. Rencana ini menyusul ditutupnya TPA Suwung Denpasar, di akhir tahun ini.
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kabupaten Bangli menyikapi wacana relokasi dan pengiriman sampah ke Bangli secara tegas.
“Kami menerima dan mendengar aspirasi berbagai lapisan masyarakat Bangli yang sepenuhnya tidak menginginkan ada pembuangan sampah atau apapun istilahnya dari daerah lain. PSI menolak tegas relokasi pembuangan sampah dari Denpasar ke Bangli,” ujar Ketua DPD PSI Bangli Jro Gede Mangun, Minggu (28/12/2025).
Didampingi sejumlah pengurus DPD PSI Bangli Jro Mangun mengungkapkan, di Bangli saat ini mencuat kekhawatiran pengiriman sampah lintas daerah berpotensi menimbulkan dampak lingkungan, sosial, hingga konflik di kemudian hari.
Politisi asal Desa Songan, Kintamani ini Bangli terkenal dengan kesucian dan kesejukan daerahnya. Dengan adanya isu pengiriman sampah ke Bangli tidak bisa dipungkiri akan berdampak terhadap kondisi sosial, budaya, hingga ekosistem daerah yang berada di hulu Pulau Bali ini.
Penolakan atas relokasi sampah ke Bangli juga menjadi klimaks akumulasi kekecewaan masyarakat dari beberapa wacana, sebelumnya ada isu seperti pemindahan Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kerobokan ke Bangli, kapal pesiar di Danau Batur, dan sebagainya.
“Kami heran kok Bangli terus mau dijadikan tempat pembuangan dan dikirimi yang cemar-cemar begitu? Oleh karena itu, PSI Bangli memandang perlu menyampaikan sikap ini dengan tegas,” kata Jro Mangun.
“Wacana ataupun rencana itu tak sejalan dengan konsep dan nilai luhur masyarakat Bali ‘sekala-niskala’, bahwa sampah atau kotoran harus dibuang ke hilir. Ini malah aneh, kotoran dibuang ke hulu,” jelas pucuk pimpinan partai non-parlemen di Bangli itu.
Pihaknya mendesak Bupati dan DPRD Bangli segera bersikap dan transparan terkait wacana ini, agar masyarakat tidak terbelah.
“Sebagai bagian dari masyarakat Bangli, kami menilai keterbukaan dan sikap tegas Bupati dan DPRD menjadi sangat penting. Jangan sampai masyarakat terbelah dan berkonflik, karena minimnya informasi tentang sampah ini.”
Berdasarkan catatan media, PSI menjadi organisasi partai politik pertama yang menyampaikan pernyataan penolakan secara kelembagaan, tentang pengiriman sampah ke Bangli. Penolakan maupun pandangan berbagai kalangan belakangan ini lebih banyak bersifat individual atau pandangan pribadi.
Di balik penolakan dan desakan, PSI menawarkan solusi penanganan sampah. Menurut Jro Mangun, Bali bukan berada dalam kondisi ini karena tidak ada solusi teknis. Bali berada dalam kondisi ini karena rantai pengolahan sampah adalah sebuah sistem lengkap (pemilahan di sumber, pengumpulan terpisah, fasilitas pengolahan, kontrak penyerapan/penjualan produk daur ulang, dan kontrol).
Di Bali, di beberapa titik, sampah “pengunci” menumpuk, sehingga rantai pengolahan yang efektif belum terbentuk.
“Bali tidak memiliki masalah teknis, tetapi masalah pada tata kelola, disiplin pemilahan, dan akuntabilitas sektor pariwisata,” kata Jro Mangun.
“Solusinya sudah ada. Yang dibutuhkan adalah orkestrasi, bukan penemuan baru,” tegas Jro Mangun. Bali, menurutnya, harus mengorganisasikan rantai pengolahan sampah yang lengkap, realistis, dan progresif, dirancang agar pembuangan ke TPA turun ke tingkat minimum, dengan mempertimbangkan kondisi lokal seperti pariwisata massal, desa, pertanian, dan keterbatasan dana tetapi tenaga kerja tersedia.
Kunci keberhasilan pengorganisasian ini, menurut Jro Mangun, TPA bukan lagi sebagai sistem pengolahan sampah rumah tangga, melainkan hanya tempat penimbunan residu akhir. Semua yang bisa dimanfaatkan harus dimanfaatkan di hulu, sedekat mungkin dengan sumber timbulannya.
“Target yang realistis untuk Bali 70–80% sampah dimanfaatkan (valorisasi), 15–25% sampah diolah secara termal, dan 5–10% residu masuk TPA,” tandas Jro Mangun, seraya memaparkan secara rinci tahapan implementasi rantai pengolahan sampah rumah tangga.
Tahap pertama, pemilahan di sumber (fondasi sistem). Kedua, pengumpulan terpisah (tanpa pencampuran). Ketiga, pengolahan organik (jantung sistem). Keempat, rantai daur ulang (mengamankan penyerapan). Kelima, pengolahan residu (menghindari TPA), dan keenam, TPA residu akhir (ultimate landfill).
Menurut Jro Mangun, kunci keberhasilan proyek ini bertumpu pada 3 hal penting. Pertama, implementasi harus mempertimbangkan apa yang sudah ada (aktor ekonomi, pembiayaan). Sebagian rantai sudah ada namun di luar sistem: pemilahan dan daur ulang berlangsung secara informal. Kedua, kepastian bahwa masyarakat Bali mendapat manfaat ekonomi dari keberhasilan proyek melalui pembentukan koperasi untuk kebutuhan tertentu, dan ketiga, tata kelola rantai pengolahan sampah dipimpin oleh sebuah yayasan. (750)
