RUTENG | patrolipost.com – Salah satu tokoh yang jarang disorot secara khusus dalam peringatan Paskah adalah sosok Pontius Pilatus, Gubernur Yudea dari kekaisaran Romawi pada zaman Yesus. Dalam setiap perayaan, dikumandangkan dalam injil bahwa Pilatus memegang peran penting dalam proses pengadilan Yesus.
Pilatus yang tidak menemukan kesalahan Yesus pun berusaha untuk membebaskan Yesus, namun tuntutan warga Yahudi untuk menyalibkan Yesus dan kekacauan yang mulai dibuat oleh massa membuatnya terkesan menjadi Gubernur yang lemah.
Melansir alkitab.or.id, Pontius Pilatus adalah gubernur (prefek) wilayah Yudea tahun 26-36 M, pada waktu Tiberius menjadi Kaisar Roma (14-37 M), dan Herodes Antipas menjadi gubernur (tetrakh) Galilea (2 SM-39M).
Pilatus disebut oleh para penulis dan sejarawan Roma, Yahudi dan Kristen. Sejarawan Roma, Tacitus, menulis bahwa Yesus dihukum mati oleh Pilatus pada masa pemerintahan Tiberius. Philo, seorang sarjana Yahudi dari Aleksandria, menulis bahwa Pilatus telah menimbulkan kemarahan orang Yahudi di Yerusalem ketika ia mempertunjukkan perisai-perisai logam di istana gubernur yang memuat gambar dan nama kaisar seolah-olah kaisar adalah Allah.
Sementara itu, Yosephus, seorang sejarawan Yahudi, menceritakan kekacauan yang ditimbulkan Pilatus ketika ia membawa panji-panji (ukiran gambar-gambar yang dibawa dengan tiang-tiang) ke dalam Kota Yerusalem yang menampilkan sang kaisar sebagai Allah, dan ketika ia mengambil dana dari perbendaharaan Bait Allah untuk pembangunan terowongan air ke Yerusalem.
Di dalam Perjanjian Baru, Pilatus disebut beberapa kali (Kis. 3:13; 4:27, 13:28; dan 1 Tim. 6:13) dan terutama dalam kisah-kisah Injil tentang pengadilan dan eksekusi terhadap Yesus. Kisah yang tertua di antara kisah-kisah ini (Mrk. 15:1-15) mengatakan bahwa ketika Pilatus bertanya kepada Yesus apakah Ia mengklaim diri-Nya raja orang Yahudi, Yesus hanya menjawab, “Engkau sendiri mengatakannya.”
Pilatus tidak menemukan alasan untuk menghukum mati Yesus dan ia juga diperingatkan oleh istrinya untuk tidak menghukum Yesus (Mat. 27:1-26). Namun, ketika orang banyak meminta Yesus disalibkan, Pilatus tidak bisa berbuat banyak hal demi menghindari kekacauan dan menyerahkan sepenuhnya kepada orang Yahudi untuk menyiksa Yesus sesuai tuntutan mereka.
Pilatus mencuci tangannya di muka umum untuk menunjukkan bahwa ia tidak ingin menanggung kesalahan atas kematian Yesus.
Langkah yang diambil Pilatus tentunya tidak salah jika dilihat dari sisi manusiawi. Pilatus pun pada satu sisi tidak begitu mengenal Yesus. Pengakuan Yesus sebagai Raja bahkan tidak berpengaruh pada posisinya sebagai Gubernur Yudea saat itu. Apalagi, setelah menginterogasi Yesus, Pilatus tidak menemukan kesalahannya.
Namun, jika Pilatus membebaskan Yesus, maka yang terjadi adalah kekacauan besar di seluruh negeri Yudea. Hal ini tentunya tidak terlepas dari pengaruh Imam kepala dan ahli Taurat Yahudi yang sudah terlanjur membenci Yesus. Maka, keputusan Pilatus bukan hal yang salah, mengorbankan satu orang demi kedamaian bagi semua orang di negeri yang diperintahnya.
Pilatus yang tidak bersalah atas kematian Yesus yang tragis ikut disalahkan karena dinilai lebih memihak sahabat Yahudi nya yang hukum Tauratnya ‘dicoreng’ oleh ‘paham’ baru yang tengah disebarluaskan oleh Yesus.
Namun, Yesus yang menurut iman Katolik adalah penyelamat umat manusia dari dosa harus menempuh jalan ‘disalibkan’ untuk menuntaskan misinya di dunia. Wafat di kayu Salib adalah rencana Allah bagi-Nya.
Pilatus merupakan pemimpin senior yang keteladanannya masih diikuti pemimpin zaman ini. Keputusan yang banyak diubah sesuka hati, melanggar janji, serta penegakkan hukum yang timpang merupakan contoh sikap pemimpin yang diturunkan dari Pontius Pilatus. (pp04)