PATROLIPOST.COM – Waktu mendekati senja. Sinar matahari masih merata di sepanjang Pantai Kuta, hanya sesekali ditutupi awan yang bergerak ditiup angin.
“Gelang Pak, gelang Bu untuk oleh-oleh ngih…”
Seorang pedagang asongan menawarkan dagangannya kepada suami-istri wisatawan lokal yang sedang menunggu matahari tenggelam di pantai eksotis kebanggaan masyarakat Bali itu.
Wayan Sutami, nama pedagang asongan itu. Dari siang sampai sore baru berhasil menjual 2 gelang dengan harga per biji Rp 15 ribu.
“Susah sekali jualan sekarang Pak. Belum ada tamu asing,” ujar wanita berusia 54 tahun asal Gianyar, tapi sudah lama mencari nafkah menjadi pedagang aksesoris di Pantai Kuta.
Keluhan Wayan Sutami adalah suara massal pekerja sektor pariwisata Bali selama dua tahun terakhir sejak pandemi Covid-19 melanda dunia. Bahkan sampai pemerintah membuka kembali penerbangan internasional (open border) 14 Oktober lalu, belum ada tanda-tanda “tamu asing” yang dirindukan Sutami itu datang ke Bali.
Tamu asing, sebutan untuk wisatawan mancanegara (Wisman) memang tidak terlihat di sepanjang Pantai Kuta, Sabtu (20/11/2021). Puluhan orang dengan aneka aktivitas di bibir pantai maupun yang mandi bermain ombak merupakan wisatawan lokal Bali serta wisatawan nusantara.
“Baru pertama kali ke sini (Pantai Kuta). Ternyata tidak seheboh cerita yang selama ini saya dengar. Mungkin karena belum ada turis asing kali ya..” ujar Rustandi (42), wisatawan asal Taluk Kuantan, Riau.
Pria yang sedang mengawasi putrinya bermain pasir mengaku ke Bali bersama seorang anak dan istrinya karena ada acara pertemuan bisnis di Nusa Dua. Selain mengunjungi sejumlah objek wisata di Pulau Bali, rombongannya juga berwisata ke Gili Terawangan, Nusa Tenggara Barat.
Kendati tidak bisa menyaksikan tingkah polah beragam ras dan bahasa warga negara asing di Pantai Kuta, namun Rustandi tetap terpesona oleh keindahan pantai ini.
“Tenang, nyaman dan indah,” ucapnya jujur.
Pantai Kuta memang masih indah dan tetap menjadi impian orang dari berbagai belahan dunia untuk dikunjungi. Kendati pun kontur pantainya kian sempit karena ombak semakin mendesak ke daratan. Berbeda dengan Pantai Sanur Denpasar yang dipasangi pemecah ombak dari bibir pantai menjorok ke laut.
Pantai Kuta memang sudah mendunia. Banyak orang merindukan berada di sini bersama orang terdekat untuk merayakan momen spesial, terutama saat pergantian tahun. Siapa pun ingin berada di pantai ini menyaksikan matahari tenggelam, kemudian melewati detik-detik pergantian tahun.
Moment romantis pergantian 2021 ke 2022 tinggal 5 minggu lagi. Namun impian penduduk dunia berada di Pantai Kuta pada hari spesial 31 Desember 2021 – 1 Januari 2022 sepertinya akan pupus oleh kebijakan pemerintah RI yang menetapkan PPKM Level 3. Melalui Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhajir Efendi, pemerintah berencana melarang pesta kembang api, bahkan melarang warga bepergian saat Natal dan Tahun Baru (Nataru).
Rencana ini menambah panjang deretan kebijakan ‘coba-coba’ pemerintah yang mengorbankan nasib pariwisata Bali. Berdalih mengendalikan penyebaran Covid-19, kebijakan pemerintah justru menghambat pemulihan pariwisata Bali.
Mulai dari kebijakan Ganjil-genap yang kemudian dianulir, cucuk-cabut kewajiban PCR (polymerase chain reaction), keharusan wisatawan mancanegara isolasi dengan biaya sendiri selama 7 hari, lalu turun jadi 5 dan terakhir jadi 3 hari.
Di sisi lain beberapa negara sudah membebaskan wisatawan berkunjung tanpa harus menjalani karantina dengan syarat sudah divaksinasi dosis II.
Teranyar muncul lagi kebijakan PPKM Level 3 yang berlaku dari 24 Desember 2021 sampai 4 Januari 2022. Bagi daerah lain di Indonesia kebijakan ini tidaklah begitu masalah, sebab geliat ekonomi tidak sepenuhnya tergantung kunjungan (mobilitas) masyarakat.
Namun bagi Bali, kebijakan ini sangat memberatkan karena seakan mengabaikan keberhasilan Pemprov Bali menekan penyebaran Covid-19 sampai ke PPKM Level 2. Hingga minggu ketiga November 2021 angka pasien terkonfirmasi positif harian di kisaran 10 – 20 orang, angka kesembuhan 20 – 30 orang. Sedangkan korban meninggal dunia selama sepekan (dari Minggu 14/11 sampai Minggu 22/11) hanya 2 orang.
Sementara itu capaian vaksinasi dosis I lebih dari 100 persen dari target, vaksinasi dosis II di kisaran 90 persen. Artinya, Bali sudah layak, siap dan aman dikunjungi wisatawan. Seluruh objek wisata sudah dilengkapi fasilitas Protokol Kesehatan, termasuk aplikasi PeduliLindungi. Demikian juga fasilitas akomodasi, hiburan dan transportasi Sebagian besar sudah mengantongi sertifikat CHSE (Cleanliness (Kebersihan), Health (Kesehatan), Safety (Keamanan), dan Environment Sustainability (Kelestarian Lingkungan).
Penolakan
Rencana penerapan PPKM Level 3 ini menimbulkan penolakan dari berbagai elemen masyarakat pariwisata Bali. Salah satunya datang dari Aliansi Pelaku Pariwisata Marginal Bali (APPMB). Di organisasi ini berhimpun pekerja pariwisata, pekerja kontrak, guide freelance, sopir freelance, sopir konvensional, penjual souvenir, tenaga massage, pedagang acung, pedagang lapak, penjaga destinasi, kusir dokar, atraksi musiman, hingga suplier dan petani.
“Kami Aliansi Pelaku Pariwisata Marginal Bali dengan tegas menolak pemberlakuan PPKM Level 3 di akhir tahun ini yang tanpa dasar saint dan data yang akurat, sekaligus meminta wacana itu dihentikan,” ujar Ketua APPMB Puspa Negara, Minggu (21/11/2021).
Menurut Puspa Negara, rencana pemerintah memberlakukan PPKM Level 3 di akhir tahun 2021 dipastikan nantinya dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik (distrust) dan kekacauan (chaos). Pasalnya, saat ini Bali sedang bangkit seiring dengan turunnya level PPKM.
“Kebijakan ini terasa lucu dan dibuat sesuka hati. Kita justru berharap PPKM turun terus hingga level 1 dan bila perlu hingga level 0 tanpa pembatasan dan menuju true normal. Ini malah diperketat lagi jadi Level 3,” ujar Puspa Negara.
Menurutnya, dalam perspektif pariwisata Bali terkait tren penurunan level PPKM telah memberi secercah harapan untuk ekonomi bisa bergerak. Terutama sejak adanya pelonggaran PPKM Level 2, serta ditandai open border pada 14 Oktober lalu. Dimana sebanyak 60 persen wisatawan domestik mulai masuk Bali. Sedangkan untuk wisatawan mancanegara (wisman) masih ada regulasi tertentu yang menjadi halangan.
“Kedatangan wisatawan domestik ini sudah membuat kita mulai tersenyum. Namun untuk wisman masuk Bali, masih ada halangan besar yakni regulasi yang saling bertubrukan antar Kementerian terkait adanya proses karantina 5 hari, Visa on Arrival masih dicabut dan hanya bisa masuk dengan visa B211A (visa busines yang rumit dan perlu promotor),” terangnya.
Lebih lanjut, Dia menyayangkan open border Bali yang sudah sebulan lebih, namun belum ada schedule penerbangan maskapai asing ke Bali. Bahkan untuk connecting flight, belum diperbolehkan masuk Bali. Sehingga open border hanya jadi penenang dan halusinasi atau fatamorgana semata.
“Rakyat di destinasi wisata (Bali) masih sekarat dan mati suri, namun sekarang akan diperparah lagi dengan adanya rencana pemberlakuan PPKM Level 3 di akhir tahun 2021 tanpa dasar saint, data dan parameter akurat,” ungkapnya.
Sementara itu, rencana pemberlakuan PPKM Level 3 di Indonesia pada akhir tahun ini sudah menyebar ke manca negara. Tentunya hal ini akan mengakibatkan cancellation booking akan masif. Di sisi lain saat ini tidak sedikit owner maupun pegawai hotel, guest house, homestay, restaurant dan sejenisnya sudah banting setir dan beralih profesi. Ada yang berjualan nasi jinggo, sate lilit, membuka laundry atau menjadi sopir online untuk menyambung hidup.
“Biasanya akhir tahun adalah masa peak season Bali. Kita berharap, akhir tahun ini pariwisata kembali bergeliat meski tetap dengan Prokes ketat dan inovatif. Tapi jika rencana PPKM Level 3 ini benar dilaksanakan, maka dipastikan Bali sebagai destinasi wisata tidak bisa berkutik, masyarakatnya akan semakin melarat dan sekarat,” paparnya.
Masyarakat Bali sangat berharap rencana penerapan PPKM Level 3 ini ‘dikunyah-kunyah’ ulang oleh pemerintah pusat sebelum ditelan (dijadikan kebijakan). Kaji betul manfaat dan mudharatnya bersama kementerian terkait, stakeholder dan pemangku kepentingan. Masyarakat Bali sangat percaya, pemerintah pusat akan mengambil langkah ‘kompromis’ antara pemulihan ekonomi dan keselamatan nyawa warga, apabila membaca data serta mempertimbangkan suasana kebatinan masyarakat Bali saat ini. (izarman)