JAKARTA | patrolipost.com – Anggota Komisi III DPR RI asal Fraksi PDIP Arteria Dahlan menyebut polisi, hakim hingga jaksa tidak perlu terkena operasi tangkap tangan (OTT). Hal itu karena mereka simbol penegakan hukum.
Menanggapi hal tersebut, pakar hukum pidana dari Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), Suparji Ahmad mengatakan di republik ini tidak ada orang yang kebal hukum. Bahkan dia menyebut Arteria tidak mengerti tentang prinsip equality before the law atau kesamaan di hadapan hukum.
Sehingga, kata Suparji, OTT bisa dilakukan terhadap siapa saja, tidak terkecuali kepada hakim, jaksa ataupun aparat kepolisian. “Berdasarkan filosofis, yuridis, sosiologis, eksistensi hakim, jaksa, dan polisi dalam konteks penegakan hukum sama di hadapan hukum sebagaimana warga negara. Sehingga kalau memenuhi unsur juga dapat dilakukan OTT,” ujar Suparji, Sabtu (20/11).
Suparji menjelaskan apabila hakim, jaksa ataupun polisi yang terkena OTT merasa keberatan. Maka ada mekanisme hukumnya salah satunya mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri.
“Kalau ada keberatan bisa dilakukan upaya-upaya banding, praperadilan dan sebagainya,” katanya.
Menurut Suparji, OTT adalah salah satu bagian dari penegakan hukum sepajang mekanismenya tidak melanggar peraturan. Maka sah saja OTT tersebut bisa dilakukan.
“OTT adalah bagian dari teknis penegakan hukum. Jadi selama substansinya, prosedur dan kewenangannya adalah baik. Maka OTT bisa dilakukan,” ungkapnya.
Sebelumnya, Anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan mengaku tidak setuju adanya OTT terhadap hakim, jaksa dan polisi. Menurut Arteria, dirinya bukan pro terhadap koruptor, namun harus ada penegakan hukum lain selain OTT tersebut terhadap hakim, jaksa dan polisi. Bahkan dirinya sedang mengusulkan hal tersebut di Komisi III DPR.
Menurut Arteria harus ada penegakan hukum lain ketimbang OTT tersebut. Sehingga hal ini yang mesti dibagun oleh aparat penegak hukum. Dia pun berharap usulannya ini disalahartikan tidak mendukung adanya OTT.
Arteria menuturkan, jika OTT dilakukan kepada hakim, jaksa dan polisi, maka ditakutkan akan timbul persepsi bahwa itu adalah sebuah kriminalisasi dan politisasi. Sehingga dia lebih mendorong cara lain digunakan selain OTT tersebut. (305/jpc)